Ketakutan terbesar Gemma terpampang jelas di hadapannya. Tidak peduli berapa kalipun ia mengerjapkan mata atau menampar wajahnya sendiri dalam upaya untuk meyakinkan diri bahwa saat ini ia tidak sedang bermimpi. Setelah menghindar selama satu minggu lebih, kecurigaannya seperti sebuah tamparan keras di wajah, membangunkannya dari mimpi. Dua garis merah muda pada alat tes kehamilan itu seolah berteriak bahwa ketakutannya selama enam minggu terakhir telah menunjukan taringnya. Gemma merasa air mata menyengat matanya, seribu kupu-kupu di perutnya seolah beterbangan dan membangkitkan perasaan lain, bukan debaran liar atau perasaan gugup seperti yang ia rasakan setiap kali melihat wajah Mackenzie Pambudi, tapi ketakutan, penyesalan dan rasa muak pada diri sendiri.
Kini Gemma jatuh terduduk ke lantai kamar mandi dengan selusin test pack berhamburan di sekitarnya. Ia merasa dunia berubah gelap dan langit runtuh tepat di atas kepalanya. Apa yang akan ia lakukan dengan bayi ini. Bayi Mackenzie Pambudi.
Malam itu ia melintasi jalanan pusat kota Krakas setelah bertemu Karina sahabatnya. Ia menumpang grab yang akan mengantarnya ke rumah, namun pemandangan aneh yang tak diduganya menarik perhatian Gemma. Ia merasa jantungnya seolah melompat keluar dari mulutnya ketika ia melihat Mackenzie Pambudi, pria yang selama ini berhasil membuatnya insomnia dan meningkatkan detak jantungnya dua kali lipat dari normal kini tengah duduk di trotoar dengan penampilan bak orang kesurupan. Bosnya itu terlihat sangat kacau, wajahnya yang belum bercukur membuatnya seperti seorang tunawisma yang tak terawat dan ia menatap jalanan dengan tatapan liar, kemudian tertawa seperti orang gila.
Gemma meminta sopir Grab berhenti, tanpa berpikir panjang ia keluar dari mobil dan menghampiri pria malang itu. "Pak Mack?" Ia menyentuh bahunya yang terkulai, membuat Mack mengangkat wajah, dan menatap Gemma dengan matanya merah, seolah ia baru saja menangis. Ia menatap wajah Gemma seakan ia tidak dapat mengenalinya. Kepedihan mewarnai kedua mata cokleat itu, membuat hatinnya serasa diremas. "Saya akan mengantar Anda pulang." Gemma membungkuk untuk membantu Mack berdiri. Saat ia berusaha mengangkat tubuh pria itu dari trotoar, rambut Gemma jatuh dari bahunya.
"Stella?" gumam Mack dengan suara yang terdengar penuh harap. Gemma memrjamkan mata, merasakan sengatan asing di hatinya. Ia sangat berharap bahwa ia adalah Stella, tapi kenyataan tidak berpihak padanya. Kemarahan menggantikan perasaan pedihnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada Mack atau istrinya, tapi ia merasa marah pada wanita itu. Marah karena telah membiarkan suaminya berada dalam keadaan seperti ini.
Jika Mack menganggapnya sebagai Stella malam ini, maka biarlah terjadi demikian. Karena walaupun hanya sesaat, Gemma ingin bersama pria itu. Ia ingin merasakan sedikit saja sentuhan dan perhatian darinya. Alih-alih mengantar Mack pulang, Gemma meminta sopir Grab berhenti di salah satu hotel terdekat dan membayar ekstra padanya. Malam itu ia menyerahkan diri pada pria itu, pria yang bukan suaminya. Walaupun pria itu terus menyebutkan nama istrinya, Gemma menyingkirkan logikanya dan meyakinkan diri bahwa malam itu ia adalah Stella Pambudi, istri dari Mackenzie Pambudi. Gemma tahu ia akan menyesali apa yang telah ia lakukan, tapi malam itu adalah malam terbaik dalam hidupnya.
Gemma memakaikan boxer dan celana panjang pada Mack agar ia tidak curiga pada apa yang baru saja terjadi, lalu keluar dari hotel sebelum pria itu tersadar. Gemma tak dapat membayangkan bagaimana reaksi Mack jika ia mengetahui bahwa ia telah meniduri sekretarisnya sendiri. Gemma tidak akan sanggup berdiri di hadapannya dengan kepala terangkat jika hal itu terjadi.
Dalam perjalanan pulang, Gemma berhenti di salah satu apotek dan membeli morning after pil. Jauh di dalam hatinya, Gemma berharap bahwa entah bagaimana ia akan bersama Mack, ia tahu itu pikiran bodoh dan ia hanya bisa bermimpi tapi perasaan itu semakin hari semakin kuat membelenggunya. Jika ia tidak dapat memiliki Mack, paling tidak ia telah memberikan hal yang paling berharga bagi pria itu, kesuciannya. Gemma memutuskan bahwa malam itu adalah malam perpisahannya, dimana ia melepaskan perasaannya pada Mack dan berjanji untuk melupakannya. Gemma menangis di sepanjang jalan pulang.
Kini ia kembali ke masa sekarang dan Gemma tidak dapat menghentikan isakannya. Sekarang apa yang harus ia lakukan. Ini di luar rencananya, perbuatan emosional yang ia lakukan dalam waktu singkat kini menunjukan buahnya. Bahkan morning after pil pun tak mampu mencegah kehamilan yang tak diingankan ini.
Tangis Gemma kini semakin menjadi-jadi. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, segala sesuatu menjadi penuh dengan ketidakpastian dan ia tidak dapat melihat hari esok tanpa merasa bahwa hidupnya telah berakhir. Apa yang akan dikatakan ibunya, orang-orang di kantor. Secara khusus apa yang akan terjadi pada Mack dan Stella jika mereka mengetahui apa yang terjadi. Selama beberapa minggu terakhir Mack telah terlihat jauh lebih bahagia dari sebelumnya, ia bahkan mampu menghadapi kasus BMKG yang kian lama kian menyeret namanya ke pengadilan. Gemma tidak sanggup berdiri di hadapan mereka tanpa merasa jijik dan hina, membuatnya menangis semakin histeris. Ia akan menghancurkan tidak hanya masa depannya, tapi juga rumah tangga orang lain. Gemma berharap bahwa bumi bisa menelannya dan menghapus jejaknya.
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. "Gemma, ada apa?" ibunya berdiri di ambang pintu dan terbelalak saat ia melihat test pack yang berserakan di lantai. Wanita paruh baya itu mengambil salah satu dari benda kecil itu. Wajahnya memucat seketika saat ia melihat apa yang menyebabkan tangisan putrinya. Matanya menatap wajah Gemma, seolah ia baru mendapatkan kabar duka yang sanggup mengirimnya langsung ke liang kubur. "Katakan, siapa ayah dari bayi ini."
Air mata semakin deras mengalir di pipi Gemma saat mendengar pertanyaan itu. Ia menggeleng dan menutup mulut dengan tangannya yang bergetar.
"Katakan Gemma." Ibunya kini mengguncang bahunya.
Gemma kembali menggeleng. Ia tidak akan pernah mengatakannya pada siapapun.
Kemarahan mewarnai wajah wanita yang selama ini selalu memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang itu. "Apakah ia pria beristri?"
Gemma tidak menjawab, ia hanya menangis dan berharap bahwa detik itu juga malaikat maut mengambil nyawanya.
Perasaan tersengat menghantam wajahnya saat ibunya menampar pipinya. "Anak tidak tahu diri. Kau pikir aku membesarkanmu untuk menjadi perempuan sundal." Ibunya melotot dengan mata merah, lubang hidungnya kembang kempis menahan luapan emosinya. "Sekarang ambil barang-barangnmu dan pergi dari rumah ini." Ia menarik tangan Gemma dan menyeretnya ke kamarnya.
"Ibu aku mohon ampun, maafkan aku," isak Gemma. "Aku menyesal." Gemma menangis histeris sambil memegang pergelangan kaki ibunya.
"Penyesalanmu tidak ada gunanya." Kali ini suara wanita paruh baya itu bergetar penuh emosi dan mengibaskan kaki dengan marah.
"Maafkan aku ibu. Aku sungguh minta maaf."
Ibunya meraih koper di atas lemari, membukanya lalu mengambil pakaian Gemma dan melemparkannya ke dalam koper itu.
"Ibu, aku mohon jangan usir aku." Gemma bangkit dari lantai lalu meraih tangan ibunya.
"Jangan sentuh aku!" hardik ibunya. Ia mengancing koper itu lalu membawanya keluar kamar.
Gemma berlari di belakangnya. "Ibu kumohon maafkan aku." Ia terisak dan bergelayut pada ibunya tapi wanita itu tidak mendengarkan, ia berjalan ke pintu, membukanya dengan hentakan kasar, lalu melemparkan Gemma ke teras depan.
"Keluar!" perintahnya dengan jari telunjuk terarah ke luar pintu.