Sekarang, Anya adalah remaja yang menduduki bangku SMA. Kehidupan yang menurutnya sangat harus dia syukuri dibanding dengan beberapa tahun yang lalu dia jalani.
Dulu, dia adalah siswi SMP yang masih lugu dan naif. Bahkan, dirinya masih terlalu sering menangis merindukan masa kanak-kanak yang seolah tak ada masalah menghampiri.
Dulu, sama seperti lainnya, dia juga ingin memiliki sahabat, ah, mungkin teman saja cukup baginya. Dia berhasil meraih itu, memiliki banyak teman yang mengasyikkan, sebelum dia menginjakkan kaki di SMP.
Entah karena apa, jiwa easy-going-nya menghilang bahkan di hari pertama masuk sekolah. Melihat orang-orang baru yang tentu saja berada satu tingkat di atasnya bukan hanya segi materi tapi juga segi penampilan, membuatnya menarik diri merasa ... iri, walau sisi terang dalam dirinya mengatakan ia hanya merendahkan dirinya.
Dia ... menjadi korban bullying secara verbal bahkan di hari pertama. Tak ada yang mengajaknya berbicara. Ketika dia menyapa, orang lain akan menatapnya seolah ia adalah orang paling aneh di dunia. Orang-orang baru itu hanya akan mengatakan, "Lo ngapain?! Ih, dekil!"
Awalnya ia hanya tersenyum, ikut tertawa saat beberapa orang yang mendengar hal itu tertawa.
Anya mundur beberapa langkah, masih tidak kehilangan tawanya. Memilih duduk di bangkunya, paling belakang.
Tapi, Anya saat itu tidak terlalu mengerti, ia tetap memilih duduk di sana, bersama dengan teman sekolah dasarnya, bahkan walau ia harus bersanding dengan beberapa pentolan kelas yang suka cari masalah, setidaknya dia bersyukur bisa mengenal seseorang di kelas ini.
Hari demi hari ia lewati, semakin beragam segala hal yang ia terima, masih sama seperti hari pertama, ia hanya akan ikut tertawa bersama dengan mereka, walau hatinya terasa seperti teriris belati.
Suatu hari, karena ia berusaha melawan dan menolak saat dimintai pertolongan untuk memberikan jawaban ulangan, ia malah harus mendengar kalimat-kalimat yang jaub lebih menyakitkan dibanding hari-hari sebelumnya.
"Eh, tangan gue gatal, nih. Kayaknya ada virus yang tadi gue sentuh." Salah satu dari mereka yang tadi ikut memohon agar dibantu melontarkan kalimat itu.
"Pasti banyak virus, lah. Kan ada sampah di sini, sampah masyarakat." Mereka tertawa, sesekali melirik ke arah kursi belakang, tertawa semakin kencang saat justru melihat wajah pias dari Anya.
Anya menggenggam tangannya erat, matanya terasa panas, ia berkedip beberapa kali, menghalangi air mata yang akan keluar, ia tersenyum pedih tidak bisa tertawa saat dilirik oleh orang-orang itu.
Anya yang sekarang bahkan sudah lupa dengan nama mereka, tapi sesekali kenangan itu akan merasuk ke otaknya, memberikan rasa sakit dan panas di sekujur tubuh.
Di hari itu, dia berlari keluar, memilih bersembunyi di salah satu kamar mandi di dekat kelasnya, terduduk tidak memperdulikan rok birunya yang basah dan kotor.
Ia memeluk lutut, merasa tidak kuat dengan hari ini. Ia ingin pulang, sekarang. Tapi bahkan jam belum menunjukkan tengah hari.
"Nya." Samar, gadis itu mengangkat wajah, tak ada siapa-siapa.
"Anya." Guncangan di tubuhnya membuat Anya berkedip, ia menoleh, melihat sahabatnya menatapnya heran.
Tangan yang berada di bahunya perlahan menggenggam pipi dan menghapus air yang Anya sendiri bahkan tidak meraskaan kehadirannya.