THE PAIN

St. Aisyah
Chapter #3

Dua -- Obat

Pandangannya memburam sesaat. Ia tersenyum pedih kala ingatan akan masa kelamnya kembali memenuhi pikirannya.

Sama seperti sekarang, ia dulu juga adalah siswi yang aktif baik dalam bidang akademis maupun non akademis. Walau ia sedikit pasif dalam hal bersosialisasi.

Walau ia memulainya tidak dari awal, tapi itu terjadi karena memang sesuatu yang ia sukai baru ada sejak dia menginjak kelas delapan.

Economic Club.

Dan sejak saat itu, hari-harinya mulai sedikit lebih terasa menyibukkan. 

Harapan untuk setidaknya tidak memiliki waktu yang begitu banyak di rumah -- agar dirinya tidak terlalu sering bertemu kakak laki-lakinya -- terwujud dengan menyibukkan diri di sekolah.

Tapi, harapan untuk setidaknya dianggap ada oleh teman sekelas, Anya bahkan seolah sedang menginginkan tahta kerajaan. Mustahil.

Karena nyatanya, member organisasi yang ia ikuti sebagian besar merupakan teman sekelasnya. 

Itu menjadi hal yang juga sama buruknya seperti mereka saat bertemu di kelas.

 "Halo, kak." Anya mengerjap, mengembalikannya ke kenyataan. Dia menoleh, melihat seorang murid yang ia perkirakan adik kelasnya dari lambang di seragamnya.

Tersadar akan sesuatu, Anya refleks berdiri menjauh. Kakiknya mengalami tremor mendadak. Seperti yang pernah diceritakan, Anya tidak memiliki phobia terhadap laki-laki seperti itu, setidaknya jika berada dalam jarak aman, jika terlalu dekat, ia bisa mengalami tremor, itu belum termasuk phobia, 'kan?

"Halo." Jelas suaranya bergetar. Tapi ia harap ketakutannya tidak tertangkap oleh lawan bicaranya. "Ada apa?"

"Oh, nggak ada apa-apa, kak," ujarnya menggaruk tengkuk belakang. Ia beringsut maju, membuat Anya semakin mundur.

Raina, please hurry up. Come he--

"Anya, yuk, balik." Anya dengan gerakan terlalu cepat menoleh ke belakang, tersenyum lega bersyukur bahkan sebelum dia menyelesaikan kalimat dalam hati, Raina sudah mengabulkan. 

Raina menoleh ke arah depan, memandang Radit, adik kelas yang kebetulan beberapa hari lalu ia kenal. "Eh, Radit. Ngapain, Dit?" Radit menggeleng, ia pamit tanpa menghilangkan senyum sopannya.

Anya dan Raina berjalan bersisian selepas Radit melewati mereka. Raina memandang Anya yang walau tersenyum penuh syukur tetap saja tidak menghilangkan raut ketakutan dari wajahnya. 

Kakinya bahkan masih gemetar.

Raina berhenti, membuat Anya ikut berhenti dan menoleh ke arahnya. "Lo, baik-baik aja, 'kan?" Ragu, Raina bertanya.

Anya juga sama ragunya dengan Raina saat ia memilih mengangguk. 

Raina menghela napas berat. Memilih mengistirahatkan tubuhnya di salah satu bangku di sekitarnya dengan menarik tangan Anya.

"Nya ... lo baik-baik aja sekarang." Raina meyakinkan. Menatap Anya serius saat ia mengimbuhkan, "Dia nggak ngapa-ngapain lo 'kan? Niat buruk aja nggak ada, kalau sampe ada sih, gue yang pertama hancurin dia." Raina memasang wajah datar dengan rahang mengeras.

Lihat selengkapnya