Keheningan malam, tak urung membuat dua sepasang kaki ini berhenti melangkah. Kaki jenjang milik kedua gadis cantik ini tampak telaten menekuni jalan yang tidak beraspal.
"Gue .... ngerasa bersalah banget, Na." Selepas dirinya sampai di rumah, diantar oleh kak Rasyi, Anya yang sedang sendirian -- seluruh keluarganya memilih bergabung dengan keluarga lain yang sedang mengadakan pernikahan — langsung menelepon Raina untuk menemaninya malam ini, sekaligus tempatnya mengutarakan semua isi hati.
Bersyukur, Anya punya alasan sedang bersekolah, sehingga ia bisa terhindar dari bertemu dengan para keluarganya, khususnya yang laki-laki.
"Ya udah, sih, minta maaf."
"Rainaa," tegur Anya dengan decakan.
Satu hal lagi, ia juga merasa beruntung tidak ikut di acara keluarga itu, sehingga ia dengan bebas bisa keluar malam seperti ini tanpa adanya serentetan pertanyaaan menyebalkan.
"Lo 'kan tahu, tadi gue kelepasan, ketemu sama dia malah buat gue makin parah, Na. Ini aja gue yakin nih, ada cowok lewat pasti gue langsung histeris lagi." Anya menunduk, memandang sepatu putihnya yang terlihat begitu bersinar di kegelapan.
Raina menghela napas. "Gini aja, lo mau minta maaf, 'kan?" Melihat Anya mengangguk, ia melanjutkan, "menurut lo cara bagus minta maaf biar lo nggak histeris lagi gimana?"
Diam, mereka berdua mulai terlihat berpikir, tak lama, Anya berseru, "Bisa. Dia nggak boleh bersuara, gue nggak boleh lihat, yang berarti pas gue minta maaf gue menghadap belakang." Anya mengangguk mantap, walau sesaat ia menunduk lesu lagi. "Tapi masa iya cara minta maafnya gitu? Nggak niat banget."
Raina mengangguk mengerti, ia dengan segera menarik tangan Anya lalu berbalik arah menuju ke rumah. Sementara tangan yang bebasnya dia gunakan untuk menelepon seseorang.
"Ka, sharelock rumah lo, dong. Gue ada perlu sama lo nih. Sekarang." Terlalu to the point, tidak suka basa-basi. Anya bahkan yakin, laki-laki yang ditelepon Raina pasti kaget bukan main.
Saat mereka sampai di halaman rumah, Anya segera mengikuti perintah Raina untuk naik di motornya dan mulai menjauhi rumahnya.
Sepanjang perjalanan, Raina harus merelakan baju dan bahunya basah oleh air mata karena Anya yang begitu mendengar suara cowok berbincang di pinggir jalan sepanjang perjalanan, merasa sangat ketakutan dan histeris. Anya selalu seperti itu, jika mimpinya kembali terulang, akan butuh waktu berhari-hari untuk bisa kembali menyesuaikan diri. Ditambah kondisi Raka dan Anya tadi ... jelas memperkeruh keadaan. Raina juga harus mengeluarkan kekuatan extra untuk menjaga keseimbangan motornya.
Begitu sampai, Anya turun dari motor dan memandang rumah minimalis di hadapannya. "Rapihin dulu muka, lo. Masih sesegukan juga gitu." Anya meringis, menerima beberapa lembar tissue yang disodorkan Raina.
Mencoba mengingat, sahabatnya ini walau dibilang sedikit kelaki-lakian, tapi cukup menjunjung tinggi kebersihan wajah, makanya ia begitu cantik dengan wajah tomboinya itu.
"Udah?" Anya mengangguk, ia mempersilakan Raina masuk duluan dan mengetuk pintu kayu berwarna cokelat di hadapan mereka. Anya sendiri sudah siap dengan posisi memunggungi pintu takut jika laki-laki yang mereka cari langsung muncul.
"Waalaikumsalam," balas seseorang saat Raina mengucap salam. Anya refleks berbalik saat menyadari itu adalah suara perempuan setengah baya, yang ia yakini adalah ibu dari Raka.
"Raka ada, ibu?" Anya yang lebih dulu mengeluarkan suara. Merasa sosok di hadapannya adalah mamanya sendiri saat melihat wanita itu tersenyum penuh kelembutan.
"Ada. Tadi dia udah cerita sih, mau kedatangan teman cewek. Mari, masuk." Refleks kedua remaja ini menggeleng.