Sudah satu minggu semenjak kejadian itu. Dan sesuai dugaan, Anya menjadi pribadi yang begitu gampang menangis dan histeris untuk alasan yang sangat kecil.
Kali ini, ia menolak habis-habisan saat seorang guru magang menunjuknya untuk berkelompok dengan teman laki-laki di kelasnya yang terkenal sangat malas mengerjakan tugas. Kata guru itu, ia disuruh mengajari laki-laki itu.
"Bu, saya nggak mau!" tegasnya berulang kali. Guru magang itu memandanginya dengan kebingungan. Raina yang menyadari itu, membisikkan sebuah penjelasan, seolah ini adalah rahasia antara ia dan guru itu.
Padahal, 'kan, semua kepala di ruangan ini sudah mengetahuinya.
Si guru yang habis dibisikkan mengangguk kaku. Sedikit merasa bersalah, ia mengubah keputusannya.
Semua pasang mata yang ada di ruangan ini menghela napas lega. Mereka juga lelah setiap hari memandangi drama antara Anya dan laki-laki di sekitarnya.
Anya duduk kembali ke bangkunya. la mengalihkan pandangan, berusaha tidak memandang lawan jenis yang ada di dalam kelas itu. Setitik airmata terjatuh untuk kesekian kalinya. Sudah satu minggu ini, Anya benar-benar tidak memandang lawan jenis, bahkan melirik pun tidak. Ketika guru yang mengajar laki-laki, maka ia akan berpura-pura sakit. la sudah lelah, di dalam hatinya, ia ingin kembali menjadi Anya yang walau menjaga jarak dengan lawan jenis, tapi tetap bisa berinteraksi.
Bisa saja dirinya bolos sekolah, tapi .... apa yang harus dia katakan kepada orang tuanya? Saat ia kecil saja dulu -- ketika ia mengurung diri sebulan mamanya menanyakan banyak hal, merepotkan bagi anak kelas 3 SD menjelaskan.
"Lo kenapa, Nya?" Anya menoleh, mengendikkan bahu tanpa berkata apa-apa.
Raina menghela napas. Pemikiran untuk mencoba tindakan orang tua Anya yang ingin anaknya dibawa ke psikiater pada awal-awal Anya histeris begitu menggoda dirinya. Tapi, hati nuraninya memberontak, dengan alasan Anya adalah sahabatnya.
"Anya, lo nggak ada cara gitu buat kembali kayak awal-awal lagi?" tanyanya suatu waktu. Melihat Anya menggeleng, Raina merasa hatinya tercubit. Sahabatnya itu bahkan melupakan masa di mana ia sempat seperti ini waktu kecil.
Anya adalah tipe orang yang akan melupakan segala sesuatu begitu cepat kecuali jika ada yang menyinggung soal hal itu.
Bersyukur, beberapa kali Anya harus dilemparkan ke masa lalu, membuatnya bercerita kepada Raina, membuat Raina tahu semuanya.
"Gue ada ide!"
Anya mengerjap kaget, memandang sahabatnya bingung. Raina menyengir, tak menghiraukan Anya. la beranjak pergi ke luar.
"Rakaaaa!" panggilnya dari depan pintu saat melihat orang yang dia panggil.
Raka mendekat, memandang bingung Raina.
"Lo harus ajak ngobrol Anya!" seru Raina tanpa tedeng aling-aling, menyisakan raut wajah terkejut dari cowok atletis di hadapannya.
"Panas," ucapnya menyentuh dahi Raina. "Gue ambilin Obat demam, deh."
Raina berdecak tidak suka. "Gue serius, Ka."
"Lo gimana sih? Lo mau Anya semakin histeris lagi? Dia natap cowok nggak sengaja aja, nangis."
"Gini, gue pengen buat Anya histeris lebih dari ini. Bahkan lebih dari saat dia di UKS waktu itu." Raina menjelaskan dengan penuh kesabaran.
"Kok gitu?"
"Gue pengin ajak dia ke psikiater. Gue harus butuh alasan untuk itu."
"Sumpah gue bingung. Bukannya lo pernah cerita ya, Anya tuh nggak pernah mau dibawa ke psikiater?"
"Nah, makanya itu, kita harus ngegertak dia, biar kayak dulu, dia yang mau usaha sendiri buat sembuh." Raka perlahan mengangguk, mulai paham arah rencana dari Raina.
"Jadi?"
Raka menggaruk tengkuk. "Tapi kok harus gue?"