Anya sungguh-sungguh dengan perkataannya pada Raina. la juga begitu keukeuh tidak ingin ke psikiater sebab merasa dirinya tidak berada dalam gangguan jiwa.
Menyebalkan sekali Raina itu. Jika ia bukan sahabat, Anya sudah akan merencakan pembalasan yang cukup setimpal kepadanya.
Hari ini, untuk pertama kalinya ia kembali ke organisasi setelah satu minggu lamanya menghilang. Padahal, saat ia tidak ada, persiapan untuk musyawarah besar sedang dilakukan.
la jadi harus merelakan jabatan sekertaris panitianya direnggut oleh salah satu anggota.
"Eit, Anya Geraldine dah datang nih," sapa seorang laki-laki, Raihan dengan cengiran khasnya. Walau berjarak, tak ada rasa takut yang tertangkap oleh retina Anya. Bersyukur, Anya tersenyum kecil tidak terlalu menanggapi.
"Ka, gue dapat kerjaan apa, nih?" tanya Anya mendekat ke arah Raka setelah berbincang dengan beberapa teman seangkatannya.
"Ini, lo bagian acara." Anya memperhatikan dengan seksama, bagaimana Raka menjelaskan tugas-tugasnya dengan sangat jelas. Saat cowok itu mengucapkan maaf karena harus menyerahkan tugas sekertaris ke yang lain, sungguh ada rasa bersalah di sana.
"Ah, thanks banget lo ngerti kalau gue tuh senang sama surat-menyurat." Anya mengendikkan bahu. "But, it's okay, Boy. Cuma sekali ini aja, 'kan?" la mengedip penuh arti, Raka menyeringai menangkap maksud Anya.
la begitu bersyukur saat melihat Anya kembali menjadi perempuan yang ia kenal, takut pada laki- laki tapi masih bisa berinteraksi dengan segala keterbatasannya.
Rapat dilaksanakan, kali ini membahas seluruh pekerjaan setiap divisi panitia. Anya begitu serius saat koordinator acara menjelaskan semua susunan yang ia buat.
"Eh, agak kecepetan nggak sih jam yang lo tentuin?" Anya menatap sang koordinator. "Maksud gue, lo nggak inget gimana mubes tahun lalu tiap pembahasan tuh butuh waktu hingga berjam-jam? Kita bahkan cuma masuk ke dua pembahasan aja waktu itu."
Beberapa adik kelas yang juga ikut sebagai panitia divisi acara hanya menyimak dengan wajah penasaran dan penuh antusias. Seangkatannya, menganggukkan kepala, menyetujui ucapan Anya.
"Lo bener, sih," ucap sang koordinator mengangguk. "Ya udah, gue revisi dulu, ya." Semua yang ada di lingkaran itu mengangguk mantap.
Rapat terus bergulir dengan beberapa kali ada perdebatan panas. Selepas rapat, Anya menggelesorkan tangan ke meja malas. Merasa lelah setelah seharian harus berpikir dan mengutarakan pendapat mengenai rapat hari ini.
"Nya." Anya mendongak. Mendelik garang padaorang yang mengganggu dirinya yang baru saja ingin terlelap.
Raka yang didelikkan seperti itu tertawa grogi. "Maaf."
"Hm," gumam Anya pelan, ingin kembali melanjutkan tidur, namun sedetik setelahnya, suara Raka kembali berdenging di telinganya.
"Jalan, yuk."
Anya menegakkan tubuhnya. Cewek ber-hoodie hijau tosca itu menatap malas ke arah Raka. Di otaknya, sudah terngiang bahwa Raka adalah cowok yang tidak tahu malu dan juga tidak memikirkan dampak dari perkataannya. Anya tahu ia sudah mulai bersikap normal, tapi apa tidak kelewatan dengan sikap Raka ini?
"Ngapain, sih, ah? Gue nggak mau naik motor boncengan sama lo lagi." Kalimat itu membuat Raka harus kembali mengingat kejadian beberapa hari lalu saat ia membonceng Anya dengan sedikit terpaksa.
Meringis, Raka berimbuh, "Tenang. Jalan kaki, kok. Mall dekat sini juga."
Mendengar itu, Anya berdiri. Merasa menolak adalah hal yang tidak masuk di pilihannya. Mungkin, dengan berjalan-jalan mengelilingi rak-rak buku dan menghirup aroma buku baru akan menjernihkan pikirannya sedikit.
"Yuk. Ke toko buku, ya." Anya tersenyum begitu lebar, membuat Raka refleks terkekeh geli, merasa lucu dengan kebiasaan cewek ini yang sedikit tidak biasa.
Cewek-cewek lain 'kan kalau ke mall tujuannya kebanyakan ke toko baju. Sangat jarang ia menemukan cewek yang lebih senang menghabiskan waktu dikelilingi buku dengan aroma khasnya.