Seperti pagi biasanya, Anya mengikuti pelajaran dengan tekun. Bersyukur kali ini tak ada jadwal apapun yang akan membuatnya meninggalkan pelajaran. Apa dirinya pernah menyebutkan, bahwa ia juga menjabat sebagai pengurus OSIS? Yah, di kelas X hingga beberapa bulan lagi ia adalah pengurus OSIS. Jelang pemilihan ketua OSIS dan pelantikan pengurus baru di semua organisasi jelas akan menyibukkan cewek itu. Tapi, sepertinya hari ini adalah pengecualian.
Anya menoleh ke samping. Tersenyum kecil memandang sang sahabat yang nampak menggigit ujung pulpen dengan tangan sesekali menggaruk pipi.
"Kenapa? Susah, ya?" tanya Anya masih mempertahankan senyumnya. Justru terkesan mengejek bagi Raina.
Raina mendengus kasar. "Apalah daya gue yang nggak sepinter Anya Shafira." Tawa yang sedari tadi Anya tahan meledak. la menutup mulut saat seluruh kepala menengok ke arahnya.
"Sorry," cicitnya. la memandang Raina masih dengan sisa tawa. "Sini gue ajarin. Mana yang susah?"
Raina merengek seperti anak kecil menunjuk bukunya layaknya anak kecil yang sedang menunjuk Iuka di lutut. "Ini, Ma. Cucaahh," ucapnya meniru anak kecil.
Anya merasa pagi ini ia terlalu banyak tertawa hanya karena Raina. la akhirnya mengajari sahabat dengan tekun dan sabar. Sesekali Raina akan menegur karena berbicara terlalu cepat.
Di ujung kelas mereka, ada Raya memandang jijik interaksi dua perempuan teman sekelasnya itu. Merasa heran kenapa Anya masih mau berteman dengan gadis yang memiliki penyimpangan seksual itu.
"Apa Anya nggak tahu soal itu, ya?" gumamnya begitu pelan. Sayang, teman sekelasnya yang memiliki saudara kembar itu mendengarnya. Wajar saja, posisi mereka berhadapan.
"Apa?"
"Ah? Apa?"
"Lo ngomong apa?" Gadis itu tetap memandang buku tulisnya, sesekali mengeluh lelah. Raya yang gelagapan tidak terlihat oleh retinanya. Raya sedikit bersyukur dengan adanya tugas ini.
"Nggak, nggak ngomong apa-apa, kok gue." Temannya hanya mengangguk kembali fokus dengan pekerjaannya.
Raya sepertinya punya cara jitu agar Anya bisa tahu fakta tentang perempuan yang dulu sempat menjadi sahabat dekatnya.
la kembali memandang ke samping, melihat dua orang itu tengah tertawa bersama entah membicarakan apa.
***
Anya menyuapi Raina dengan senyum lebar miliknya. Tertawa saat sang sahabat mengoceh karena memberinya sayur disuapannya itu.
Mereka sedang ada di kantin. Dengan pandangan beberapa mata tertuju pada mereka.
"Eh, lo ngerasa aneh nggak sih?"
Anya mengangkat sebelah alis, menunjukkan ia bertanya, kenapa?
"Mereka semua mandangin kita berdua gitu." Anya mengedarkan pandangan. Memang benar, sebagian besar penghuni kantin yang diisi oleh angkatan mereka berdua memandang Anya dan Raina dengan pandangan .... aneh? Anya sendiri tidak bisa memahami tatapan itu.
Saat Raina dan Anya melirik, beberapa orang sibuk mengalihkan pandangan lalu berbisik kecil bersama teman di sampingnya.
"Halo, Anya." Panggilan itu membuat Anya berhenti mengedarkan pandangan, menatap si pemanggil yang ternyata teman seorganisasinya.
"Eh, halo. Lo mau duduk? Sini, sini," ujarnya menawarkan. Memandang gadis itu membawa sebuah piring dengan makanan di dalamnya.
"Ah, nggak usah. Gue nggak mau," tolaknya sedikit kasar di pendengaran Anya dan Raina. Gadis itu memandang Raina dari atas hingga ke bawah. "Gue nggak mau dekat-dekat dengan orang yang ada penyakit. Ketularan entar." Perkataan itu disertai dengan kekehan kecil dan ia mulai berjalan menjauh dengan sedikit siulan.
"Hah?" tanya Anya heran. Kini memandang Raina bingung. "Lo ada sakit, Na? Di mana?" Nada suaranya begitu khawatir.
Raina sendiri seolah fokus dengan isi kepalanya yang terus saja memutar ulang perkataan gadis yang Raina tahu hanyalah dirinya satu organisasi dengan Anya.
Gue nggak mau dekat-dekat dengan orang yang ada penyakit.
"Na?" Bergeming. Anya sampai harus mengguncang bahu Raina untuk membuat cewek itu menoleh ke arahnya seperti orang bingung.
"Apa?"