Yang terjadi selanjutnya selepas tindakan Raya yang begitu jijik di mata Anya, adalah perubahan sosok Raina.
Raina yang dulu begitu ceria dan aktif serta ekspresif ini menjelma menjadi gadis pendiam, begitu senang melamun seolah itu adalah tindakan yang begitu wajar dan jangan lupakan wajah depresinya itu.
Yang jelas, Anya lupa kapan terakhir kali ia melihat Raina yang seperti ini.
la tahu, Raina adalah gadis yang memiliki masalah besar yang hingga sekarang ia sendiri tidak bisa menyelesaikannya.
Bukan, bukan tentang keadaan seksualnya.
Ibu. Ini soal ibunya.
Tapi, yang Anya tahu, seberat apapun masalah itu bagi kehidupan seorang Raina, Raina tidak akan membawanya hingga sedepresi ini.
"Na?" panggil Anya pelan.
Raina hanya mendongak, menghentikan kuyahan di mulutnya dan memandang tanya Anya. Anya bergidik. Di depannya bukan Raina. Sorot kosong matanya seolah memberi tanda bahwa jiwa seseorang di depannya ini sekosong tatapan matanya.
"Are you .... okay?" Anya memberanikan diri, walau nada suaranya masih terdengar begitu sangat ragu.
Raina mengangguk kaku. Memilih menikmati makanannya dengan tenang.
Semenjak Anya dan Raina menjadi dua orang yang begitu terkenal di sekolahnya, tentunya sebelum masalah di hari kemarin terjadi, begitu banyak tatapan penuh benci dan iri yang terlayang pada mereka berdua.
Dan, yang Anya dan Raina lakukan adalah berdiam diri. Walau sesekali harus mengeluarkan suara saat tatapan itu berubah menjadi hinaan tepat di wajah mereka.
Dan sekarang, tebak tatapan jenis apa yang kedua remaja ini dapatkan? Iya, tatapan penuh rasa jijik.
Anya menqedarkan pandanqan. Tersenyum manis saat salah satu adik kelas tidak mengalihkan pandangan seperti mereka-mereka yang lainnya.
"Berani sekali," ujar Anya pelan. Raina justru semakin menunduk. Biasanya jika sudah seperti itu, ia yang akan paling pertama kali marah. Tapi kini, makanannya berubah menjadi magnet yang terus saja menarik perhatian seorang Raina. Jujur saja ia tidak pernah membayangkan akan jadi seperti ini. la mengira tak akan ada yang tahu sekalipun ada yang tahu bakal tidak peduli seperti Anya -- tentang dirinya yang sesungguhnya. Ini sungguh menampar mentalnya.
"Kenapa, dek?" tanya Anya masih memandang adik kelas yang terus saja memandangnya. Penuh dengan penekanan. Yang ditanya, mengerjapkan mata pelan. Menggeleng, lalu mengalihkan pandangan.
Anya menghela napas. la kini juga menyantap makanannya dalam diam. Berusaha menyabarkan diri, walau terasa sulit.
"Anya." Panggilan itu membuat senyum merekah di wajah Anya. "Pelantikan Senin ini, 'kan?" tanya Raina.
Anya mengangguk semangat. Untuk pertama kalinya semenjak kejadian itu Raina akhirnya memulai percakapan lebih dulu.
"Gue bisa nggak ya ngajuin pengunduran diri?"
Anya secara tidak sadar menjatuhkan sendok yang berada di tangannya. Meninggalkan suara dentingan antara piring dan sendok yang ia jatuhkan.
"Hah? Lo gila, Na? Bukannya lo ketunjuk jadi bendahara, ya?"
Raina tertawa miris. "Itu dulu, Nya." la memandang Anya masih dengan tatapan kosongnya. "Keknya mereka lagi diskusi deh soal alasan apa yang harus mereka pakai buat pecat gue secara terhormat."
"Kok bisa dipecat? Lo ada salah apa? Selama ini lo aktif-aktif aja, kok. Ya cuma ak--" Anya mengatupkan bibir, berusaha tidak meyinggung kejadian itu lagi.