Hola, cuma pengin kasih peringatan, di chapter ini agak ada scene ... yah, pastikan saja usia kalian sudah 15 tahun ke atas untuk membaca chapter ini, okay?
***
Anya sungguh tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Sudah satu minggu semenjak hari pelantikan, dan semua hal yang dia lakukan masih sama, merenung hampir di setiap waktu.
Dan lihatlah kali ini, bagaimana seorang Anya Shafira berdiri di depan seluruh teman kelasnya untuk pertama kalinya, hanya karena lupa mengerjakan pekerjaan rumah.
Sebenarnya bisa saja Anya mengerjakannya di sekolah, meminjam pekerjaan temannya yang lain saat ia sedang malas berpikir dan jika sudah sangat kepepet.
Tapi, sayangnya ia juga terlambat masuk kelas tadi. Lengkap sudah, ia sudah tidak bisa memperbaiki kesalahannya.
"Aneh sekali situasi ini," ujar guru ekonomi kesayangan kelas ini, Anya menunduk dalam, merasa kecewa dengan diri sendiri dan jauh lebih mengecewakan lagi, saat teman-temannya tidak tertawa seperti biasa saat ada teman mereka yang berdiri seperti ini.
Rasanya seperti teman-temannya tiba-tiba berada di dunia lain, dunia di mana si anak rajin di kelas mereka mendadak berubah menjadi anak nakal.
Memikirkan hal itu, Anya semakin menunduk dalam.
Suara hembusan nafas terdengar begitu lelah di telinga Anya. Anya sedikit mendongak, menoleh ke arah sang guru yang sedang memijat keningnya.
"Sudah. Saya rasa kamu sudah cukup memikirkan kesalahanmu. Saya nggak tahu kamu lagi ada malasah apa, masalah keluarga ataupun organisasi, saya nggak peduli. Tapi, coba jangan bawa masalah itu ke pembelajaran kamu, ya? Jika terus seperti ini kamu akan berada dalam masalah besar."
Anya mengangguk pelan. Masih berdiri di tempat, tidak tahu harus berbuat apa.
"Ayo kembali duduk," tegas si bapak guru, Anya mengerjap masih bingung tapi langkah kakinya mulai membawanya ke bangku miliknya.
Benar, jika terus seperti ini ia akan berada dalam masalah besar.
Anya mengeluarkan buku pelajaran, memilih membuka lembar belakang dan mulai dengan kegiatannya.
Go away from the problem. Itu adalah kalimat pertama yang ia tulis dengan tulisan acak, besar dan jelas tidak akan bisa terbaca oleh orang lain saking berantakannya.
Langkah pertama?
Ke rumah Raina, ketemuan, tanyain segala alasan dia menghilang beberapa hari ini, diskusi, dll.
Berapa lama di sana?
Satu malam mungkin cukup. HARUS NGINEP!
Maka harus malam minggu ke sananya.
Good. Anya dengan sengaja memberikan titik hitam besar di sana, tanda bahwa rencananya akan berjalan sesuai yang apa ia tulis. la kembali mengingat hari apa hari ini. Jumat. Maka, besok selepas latihan organisasi ia akan ke sana.
la tahu rumah Raina semenjak cewek itu sendiri sering mengajaknya untuk ke sana jika Raina melupakan sesuatu hal yang harus dia bawa ke sekolah.
Lengkungan senyum di bibir Anya terukir. Masalahnya akan segera hilang.
Dan, sekarang Anya bisa fokus pada pelajaran kesukaannya ini. Memandang sang guru yang begitu antusias mengajar sama seperti antusiasnya para murid.
"Pak, rumus mencari Qs sama dengan cara mencari Qd, Pak?" Anya mengangkat tangan, mengalihkan beberapa atensi yang terfokus pada papan tulis ke arahnya.
Sang guru di depan sana mengangguk, memuji karena tebakan Anya tepat, seperti biasa. Padahal Anya 'kan tadi bertanya.
Anya tak ambil peduli. la kembali fokus pada penjelasan selanjutnya dari sang guru.
Setelah semua kegiatan pembelajaran ini selesai tepat menjelang jam 12 siang. Anya berjalan di koridor menuju sekretariat organisasinya.
"Kak Raaaayy!" Anya melotot garang. Berteriak dari jarak yang cukup aman bagi kesehatan jantungnya. "Kok nggak shalat?!" tanyanya menuding.
Senior yang bernama Ray meringis pelan. la menyimpan ponsel miliknya dan menatap si adik angkatan yang sekarang benar-benar menjadi orang penting di PMR dengan cengiran lebarnya.
"Palang merah, Dek."
Dan berakhir dengan dirinya terantuk jatuh akibat lemparan bantal besar dari Anya. Anak itu terlalu jago melempar dengan jarak yang cukup jauh, pikirnya kesakitan.