THE PAIN

St. Aisyah
Chapter #14

Tiga Belas -- Ibu dan Anak

"Sial!" Raina menjambak rambut pendeknya. Merasa gusar atas perbuatannya tadi. 

"Sial! Sial! Sial! Argh!" Kali ini, sasaran Raina adalah tembok di sampingnya. la meringis kesakitan dan menggoyangkan tangannya merasa perih. "Bangsat, anjing!"

Raina adalah orang yang akan dengan mudah berkata kasar bahkan untuk hal sekecil apapun, biasanya akan ada Anya yang menegur. 

Ah, soal Anya. 

"Argh!" Mengerang, mulutnya hanya bisa melakukan itu dan mengeluarkan sumpah serapah, kalimat-kalimat yang bergaung di otaknya tak bisa ia utarakan. Rasanya seperti percuma dia katakan, toh dia memang melakukannya. 

Kalimat seperti, "gue tadi ngapain?" Atau "anjing gara-gara tuh drama. Mending tadi nggak nonton." Dan lain sebagainya. 

Raina terduduk dengan lesu. Merasa sudah kehabisan tenaga untuk berteriak dan menyumpahi apa yang telah ia perbuat. Dadanya naik turun, napas terengah hebat seperti biasa terjadi ketika ia selesai berolahraga dan jantung berdetak keras. 

la bodoh. Dirinya perempuan bodoh yang tidak bisa menahan diri di depan sahabatnya sendiri. Walau Anya tahu apa-apa saja hal terlarang yang ia sudah lakukan bersama kekasihnya, dan juga tidak melarangnya, bukan berarti Raina bebas melakukan hal yang sama ke Anya! 

"Anjing," umpatnya pelan seraya terkekeh miris. la menyisir rambut menggunakan jarinya, merasa menjadi orang paling bajingan di dunia. 

Ponselnya berdering. Raina memandang sofa tempat di mana ponselnya berada. Lutut Raina masih begitu lemas hanya untuk sekadar berdiri dan mengambil benda pipih itu. Maka, ia membiarkannya hingga deringnya menghilang. 

Raina memejamkan mata, mengistirahatkan otaknya yang terus saja melontarkan kalimat-kalimat kasar yang dirinya bahkan mungkin akan berpikir dua kali untuk mengatakan itu dalammasa sadar. Terlalu kasar dibandingkan kata-kata kasar yang sering ia ucapkan. 

Dering ponsel terdengar, membuatnya kembali membuka mata. la menggerutu, memilih berdiri dan mengambil ponsel itu dengan sentakan keras. 

"Halo?" bentaknya tanpa sadar.

"Kok marah? Ada apa?" 

Raina melihat layar ponsel, itu nomor Salsa. Rasanya Raina tidak ingin berbicara dengan siapapun saat ini. Termasuk Salsa. 

"Nggak ada. Kenapa nelepon?" tanyanya menetralkan kembali suaranya. 

Raina duduk di sofa. Memejamkan mata dengan ponsel masih di samping telinga. 

"Nggak. Cuma mau nanya, kak Anya udah datang?"

Semenjak pesan singkat yang sampai di ponsel Raina, membuat hari-hari setelahnya menjadi cerah di pandangan Raina. la sengaja meminta kekasihnya untuk tidak datang ataupun menganggunya saat Anya datang ke sini. Tapi yang menganggu justru diri dan nafsu setannya itu.

"Sayang?"

"Eh? Iya, kenapa?" Raina mengerjap terkejut. Tidak mendengar apa yang Salsa katakan. 

"Kak Anya--"

"Oh. Udah pulang dia." Dengan tangan sebelahnya yang bebas, Raina memijit pelan dahinya. 

Sesaat Salsa terdiam di seberang sana. Tidak tahu berkata apa. la sudah patuh hari ini, ia tidak pergi ke sana padahal hari ini adalah malam Minggu. 

"Oh. Aku ke sana .... boleh?" tanyanya ragu dan pelan. 

Raina menggeleng. la lalu berujar saat sadar kekasihnya itu tidak mungkin melihatnya. "Nggak usah. Udah malam banget ini." Sangat klise sekali alasannya. Padahal biasanya, keduanya sering menghabiskan waktu bahkan sampai Subuh menjelang. 

Raina menegakkan duduknya saat mendengar desahan kecewa dari seberang sana. "Sa, sorry ya. Gue lagi pengen sendiri." 

Lihat selengkapnya