Anya berlari kencang, tidak peduli pada tatapan orang-orang.
Rasa sakit di kakinya tidak membuat keinginannya untuk berhenti tercipta. la menjerit kencang dalam hati, semakin membuat dada sesak.
Sampai akhirnya ia terjatuh di trotoar. Anya meringis, merasa kasihan pada diri sendiri. Air mata yang sedari tadi ia tahan membeludak keluar saat itu juga. Jalan raya yang macet bahkan di hari Sabtu ini, tak urung membuat Anya bangkit dan memperbaiki keadaannya.
"Nya," panggil seseorang. Anya merasa kenal dengan suara itu. la mendongak. Ternyata benar, itu Raka.
"Astaga, ya ampun, lo kenapa?" Anya dapat melihat dengan matanya yang masih buram karena air mata, cowok di hadapannya begitu panik dan khawatir, tapi tetap ragu untuk maju mendekatinya.
Mendapati hal itu, Anya beringsut duduk. la menggeleng, tapi itu tetap tidak membuat Raka menghilangkan raut khawatir dari wajahnya.
"Gue antar pulang, mau?" tanya Raka setelah melihat Anya bisa bangkit duduk walau terlihat kesakitan. la ingin ikut berjongkok di hadapan gadis itu, tapi posisinya mungkin akan membuat Anya tidak nyaman. Dia ... berharap, untuk saat ini Anya bisa menerima bantuannya. Dia sangat khawatir, sungguh.
"Lo naik motor?" Anya menggosok hidung yangberair dengan siku setelah membersihkan wajah seadanya.
Melihat hal itu, Raka mengeluarkan tissue yang entah kenapa selalu ada di tasnya setiap hari. Mungkin kerjaan ibu, pikirnya.
Anya menerima itu. Membersihkan wajahnyajauh lebih baik. Tersenyum tipis berusaha terlihat tidak dibuat-buat pada Raka. "Nggak usah antar gue, deh."
"Kita bisa jalan kaki. Lo mau?" tawar Raka, memberikan pilihan lain. la tidak boleh membiarkan Anya keras kepala dengan dalih kondisi ketakutannya. Tidak, cewek itu benar-benar butuh bantuan sekarang.
Jalan kaki? Terakhir kali ia jalan kaki menuju ke rumah adalah saat masih SD. Jarak dari sekolahnya begitu dekat dari rumah. Semenjak ia SMP dan SMA, jarak sekolah itu begitu jauh.
"Kaki gue sakit," keluh Anya dengan gelengan pelan. Tidak menyembunyikan keadaannya walau masih berusaha menolak. Merasa jalan kaki berdua -- bersama Raka lagi --bukanlah solusi terbaik setelah ia berlari seperti tadi.
Raka mengangguk paham. la sedari tadi memang memandang heran pada gadis yang berlari di trotoar. Bersyukur jalanan macet membuatnya dapat melihat dengan jelas. Setelah yakin itu Anya, Raka dengan segera menepikan motornya. Tepat setelah ia berdiri dari motor, Anya terjatuh. Bahkan Raka meringis di tempat seolah ia yang merasakan.
"Yah, nggak papa. Kita pesan taksi online aja deh, ya." Raka merogoh saku, mengambil ponsel pintarnya. Masih tidak ingin membiarkan cewek di hadapannya ini keras kepala tidakmau menerima bantuannya. "Lo mau pulang langsung ke rumah?"
Anya menggeleng cepat. Pulang ke rumah dengan keadaan seperti ini jelas akan membuat mamanya khawatir. Walau sang mama jarang bertanya apapun kepadanya, tetap saja itu menganggu Anya.
Raka tiba-tiba saja berjongkok. Mensejajarkan tingginya dengan Anya yang masih terduduk. "Oke, terserah. Tapi, lo boleh berdiri nggak? Sepertinya orang-orang mulai salah paham, mengira gue adalah pelaku tindak kejahatan yang tengah menyiksa korbannya sekarang," ujar Raka sembari tertawa kecil, matanya menyipit karena hal itu.
Anya mendongak, menatap jalanan di sampingnya yang masih ramai oleh kendaraan lalu lalang bahkan di saat hari sudah menjelang malam. la meringis, membenarkan ucapan Raka.
Maka, ia berdiri dengan sedikit kesusahan, Raka terdiam memandang itu. Ingin membantu tapi jelas, bantuan apapun yang ia lakukan jika bersentuhan dengan Anya langsung hanya akan membawa petaka.
Tapi orang tak mengerti itu. la semakin menatap Raka yakin seolah Raka adalah penjahat wanita. Raka menggeram dalam hati, rasanya iaingin berteriak ke mereka-mereka yang memandang Raka dan Anya.
Anya akhirnya berhasil berdiri. la menatap Raka yang juga turut berdiri. Kini mereka berhadapan.
"Gue nggak bisa pulang dengan kondisi begini.... Eum, Gue bisa ke rumah lo, dulu?" tanya Anya meringis pelan, agak ragu sebenarnya.
Raka terdiam. Sedikit terkejut. la mengernyitkan alis, merasa ada yang salah dengan tawaran itu.
Oke, dia memang tidak tahu apa masalah Anya. Sepertinya menurut Anya memang pilihan terbaik adalah pulang dulu ke rumah Raka.
"Oke, oke. Tunggu gue pesanin taksi online," kata Raka setelah lama memikirkannya.
Mereka berdiri bersisian, walau berjarak. Semakin lama, matahari semakin merosot ke bawah, memberi efek jingga yang menenangkan jiwa. Anya memandangi itu dari samping, karena posisi barat berada di samping kirinya. la sesaat terpukau dengan keindahan cakrawala di bantara sana.