Anya menyibukkan diri selama satu minggu ini. Ketika bahkan tidak ada kegiatan yang bisa ia lakukan di luar rumahnya, ia tetap memilih bersama dengan orang-orang banyak. Bersama teman- temannya.
Sebab, jika satu menit saja ia sendirian tanpa kebisingan, dirinya pasti akan memikirkan hal-hal yang akan kembali membuatnya bersedih.
Bercerita dengan mamanya bukanlah hal yang baik dilakukan. Hal itu mungkin akan menjadi hal yang terakhir Anya lakukan selama hidupnya.
Salahkan hubungan mereka yang sedari awal memang tidak seperti hubungan anak-ibu lainnya. Anya seolah diberi tembok pembatas agar ia tidak menunjukkan sisi jeleknya di hadapan mama. Makanya, semua perasaannya akan ia redam sendiri. Memberikan efek sesak tak berujung pada hati.
Di hari Sabtu ini, Anya sudah berada di luar rumah semenjak pagi. Anya melirik jam di ponselpintarnya. Sudah jam delapan malam. Dari pagi ia berada di sekretariat organisasinya. Bercengkrama dengan senior-senior di sana.
la masih tak ada niat untuk pulang.
Sama seperti dirinya, mamanya juga seolah menciptakan tembok tipis di mana ia tidak akan bertanya lebih kepadanya mengenai kegiatan Anya.
Anya cukup mengatakan ia ada kegiatan di sekolah, dan mamanya akan menyetujui tanpa bertanya. Bahkan hingga malam hari seperti ini. Malam terlarut yang pernah ia habiskan di luar ialah hingga jam dua belas malam. Dan sekali lagi, ibunya tidak pernah menanyakan. Sekalipun ia menanyakan, Anya sudah tentu hanya akan menjawab singkat tanpa merasa harus menceritakan rinci.
"Raka, gimana kerja pengurusmu selama ini?"
Anya menoleh, menyimak pembicaraan senior perempuan cantik bersama dengan Raka.
Satu hal yang ia rela berlama-lama di sekolah, ialah ia tidak sendirian cewek di sini. Jika saja iasendirian kaum hawa di sini, jelas ia akan mati gemetaran di tempat.
"Ya gitu lah, kak. Mereka udah mulai menjalankan proker yang schedule-nya dekat dari sekarang, kak."
Anya melirik ekspresi seniornya, ia hanya mengangguk pelan.
"Dana tuh paling penting, Dek," nasihat si senior cantik.
Dhey tersenyum tipis di belakang senior tanpa terlihat oleh sang pembicara. Sebagai bendahara, ia tentu sudah sangat khatam soal hal itu. Salah satu cara mendapatkan dana selain melalui divisi dana usaha, ialah dengan meminta ke para dewan-dewan alumni.
Tak ada pembicaraan selanjutnya. Anya mendongak, memandang berkeliling ruangan sekretariat organisasinya. Matanya berhenti pada salah seorang senior yang sedang menonton film di laptopnya.
Anya merangkak mendekati. "Descate of the Sun!" serunya heboh, menyebutkan salah satu drama Korea yang cukup terkenal.
Senior yang bernama Araa menoleh, tidak menyadari ada yang bergabung dengannya menonton.
"Udah nonton?" Anya mengangguk antusias mendengar pertanyaan itu. la memperbaiki posisi duduknya agar merasa nyaman menonton.
"Gue kok baru nonton, yah. Ketinggalan banget," ujar Araa. Anya diam tidak menyahut, bingung sebenarnya ingin merespon bagaimana.
Sedang asyik menonton, seseorang memanggilnya. Anya dengan malas mendongak.
"Sini dulu, Anya."
Anya beringsut mendekat dengan malas. Mendekati kak Ahmad, salah satu senior yang cukup menaruh perhatian terhadap administrasi organisasi ini.
"Iya, kak?" tanya Anya sopan.
"Gimana persuratan kamu?" Kak Ahmad menatapnya dengan senyuman tipis. Melihat itu Anya menyengir lucu.
"Aman, kak," jawab Anya. Berharap diskusi itu cukup sampai sini agar ia bisa kembali menonton bersama kak Araa.
"Lihat coba."
Anya berdecak pelan dan menggerutu dalam hati. la dengan segera meraih tasnya dan mengeluarkan laptop yang selalu ia pakai dalam membuat surat. Membuka beberapa file yang memang ia khususkan untuk surat-suratnya.
"Ini, kak." Anya menyodorkannya ke depan kak Ahmad. Anya tetap diam di tempat, berusaha menjaga jarak aman dengan sang senior.
"Bagus. Kamu tahu kan surat-surat mana saja yang kamu keluarkan?"
"Iya kak. Aku buat soft file dan juga hard file-nya di buku besar ini," jelas Anya menyodorkan buku besar berwarna ungu di hadapan sang senior.