THE PAIN

St. Aisyah
Chapter #17

Enam Belas : Mimpi, Masa Lalu (2)

Hari ini adalah hari Minggu. Di bulan-bulan seperti ini ia harusnya sibuk di sekolah, bahkan di hari Minggu. Pertama, karena ia baru saja menjabat sebagai sekertaris umum di organisasinya, maka sekiranya perlu banyak hal untuk adaptasi. 

Kedua, dia kemarin mendapat surat dari sekolah lain mengenai ajakan lomba yang akan diadakan beberapa bulan lagi. 

Sekolah yang sama di mana diadakan latihan bersama beberapa minggu yang lalu. Sekolah di mana ia melihat sosok yang paling tidak ia ingin lihat, teman SMP-nya. 

Sekolah di mana ia kalap dengan dirinya sendiri. Bermimpi buruk yang menjadi bumerangbaginya, tapi sebagian orang tetap mengira ia mencari muka. 

Anya menghela napas. Memandang surat di tangannya. la menggeleng lemah. Kepalanya begitu pusing saat ini. la meringkuk di atas kasur dengan keadaan berselimut tebal. Dingin menyeruak hingga ke dalam tulangnya. 

Ponselnya dibiarkan menyala di sampingnya. Sedari tadi ia berusaha mengumpilkan nyawa untuk memberitahu Raka soal surat ini dan juga rencana pembahasan surat ini ia ingin melakukannya esok hari. 

"Uh," lenguhnya dengan dahi mengernyit dalam. Sakit sekali. Bagian dahinya berdenyut nyeri. 

"Anya, ada apa, sayang?" tanya Mamanya masuk ke dalam kamar yang memang tidak tertutup. 

Anya tertawa dalam hati. Ibunya masih sama, memberi perhatian di saat dirinya terbaring lemah seperti ini. 

Apa ia lupa apa yang terjadi kemarin? Kejadian itu 'kan menjadi salah satu penyebab Anya sakit hari ini. 

Yang ia lakukan hanya menggeleng lemah. Memegang dahi dengan tangan yang terasa hangat. "Sakit kepala, aja." 

Mamanya nampak mengangguk pelan. Anya sendiri tidak terlalu melihatnya. Pandangannya buram. 

Sedetik sebelum kesadarannya menghilang, mamanya naik ke atas ranjang dengan segelas air dan Obat. Menarik kembali keinginan Anya untuk terlelap. 

"Minum dulu. Baru tidur, ya." 

Anya tidak banyak protes saat tubuhnya diangkat pelan dan diberi Obat. Setelahnya Anya kembali berbaring, memegang dahinya pelan. la memejamkan mata, membiarkan kegelapan merenggut kesadaran. 

Anya mengerjap pelan. la mendongak saat menatap meja yang kini memangku kepalanya. Dia .... adalah di dalam ruangan. 

Kelas, eh? 

Bukannya tadi ia tertidur lemah dengan kondisi sakit? 

"Suruh aja dia keluar, gue yang gantiin lomba. Nggak bagus juga suaranya." 

Anya memicingkan mata. Berusaha mempertajam telinga. Suara itu sepertinya tidak asing sama sekali di telinganya. 

"Ya udah. Kita bilangin ke dia." Suara berderap langkah masuk ke dalam kelas. Anya terdiam. Memilih memandang lurus ke depan. la masih tidak mengerti di mana dia dan apa yang sedang terjadi. 

Saat perlahan ia bisa melihat dengan jelas siapa yang masuk Anya mematung di tempat. la dengan spontan melihat seragam yang ia gunakan. Roknya berwarna biru. 

Sial.

Jika ia tidak salah ingat, hal yang berikutnya terjadi adalah orang-orang itu mendekat ke arah mejanya dan berkata, "Eh, nggak usah ikut latihan lagi, ya. Lo nggak usah ikut lomba." 

"Oh. Iya." Anya tersenyum seraya mengangguk. Sesaat kemudian ia mematung, kenapa seolah dirinya dikendalikan saat ini? la tidak seharusnya mengatakan hal itu! Harusnya ia tetap memaksa ikut lomba, karena itu haknya. Bukankah memang dia tidak jadi digantikan? Ada apa ini? Apa ia bermimpi? 

Orang-orang di hadapannya tertawa begitu lebar. Meninggalkannya dengan perasaan kecewa karena ini adalah salah satu lomba yang menurutnya menarik dan yang mengadakan adalah salah satu SMA favoritnya. 

Anya menutup mata dengan sebelah tangan. Ingin rasanya ia menjerit saat ini. la meremas rok birunya. Sekarang ia sudah SMA! Kenapa saat ini ia memakai baju khas SMP ini? 

Sial. Sial. Sial. 

Anya terus merutuk dalam hati. Dan yang bisa ia lakukan hanya terisak pelan. 

Tak lama, kesadarannya tertarik paksa. Anya tidak mengerti sama sekali. Tubuhnya seolah tertarik menjadi serpihan debu dan kembali menjadi utuh. 

Kini ia kembali terbangun dengan posisi yang sama. Bedanya, kini ada begitu banyak orang di dalam kelas. 

Satu orang mendekatinya. Tersenyum lebar yang membuat Anya merinding ketakutan. Sialan, senyum iblis. Dia tahu siapa cewek itu. Dia pasti akan mengatakan, "Nya, lo ikut kembali lomba, ya? Soalnya 'kan lo udah kirim foto lo nih, kata panitia di sana pesertanya nggak bisa ditukar lagi." Anya sudah menebaknya. la juga sudah menyusun kalimat yang akan ia lontarkan. la akan memarahi dan bertanya kenapa mereka bisa seenaknya melakukannya seperti itu. Beberapa hari lalu mereka membuangnya!

Anya mengangguk antusias, berbanding terbalik dengan hatinya yang menjerit sakit serta otaknya yang merasa aneh dengan tindakannya kali ini. Astaga, Anya masih tidak paham. Apa ia sedang berada dalam tubuhnya di waktu itu? 

"Iya. Nggak pa-pa." Jika ia tidak salah ingat lagi, ini adalah kejadian beberapa hari setelah ia dilarang ikut latihan lagi. 

Setelahnya, siswi itu kembali ke tempatnya, bersama yang lain. 

Lihat selengkapnya