Selama berbulan-bulan setelah ia mengeluarkan segala isi hatinya kepada mama, Anya menyibukkan diri di sekolah. Seperti hari itu, ia bahkan bisa jauh lebih tengah malam pulang ke rumah.
la tak peduli saat melihat papa memarahinya saat papa di rumah. Segala sikap tidak sopannya menghilang digantikan sikap pendiam dan dingin.
Setiap papa menelepon, menyuruhnya pulang, ia akan menjawab iya saja dan segera pulang ke rumah. Di rumah, ia akan diceramahi, Anya akan diam mendengarkan tanpa menatap mata laki-laki yang selalu ia anggap bisa berbuat bejat lebih daripada laki-laki bejat asing yang lain.
Bahkan sesekali ia akan menginap, entah di rumah Dhey ataupun di sekretariat, tentunya dengan beberapa senior cewek beserta Dhey juga, dan jangan lupakan Raka.
Bicara soal Raka, rasanya Anya masih merasa aneh saat beberapa kali cowok itu memberinya perhatian kecil. Seperti mengajukan diri untuk menemaninya saat ia perlu berhadapan dengan kepala sekolah, untuk urusan surat menyurat.
Malam ini, setelah beberapa bulan latihan hampir setiap hari, tiba masanya mereka akan berangkat ke lokasi lomba diadakan.
Begitu banyak barang yang harus mereka bawa sebagai persiapan, bersyukur kali ini mereka tidak perlu membawa tenda karena lokasinya merupakan lokasi penginapan.
"Lo bareng Dhey, 'kan, ke sana?" Anya mengangguk, tersenyum kecil sembari terus berjalan berdampingan dengan Raka dengan barang-barang di tangannya. Terima kasih kepada Raka yang selalu saja memberinya ruang agar ia tidak harus ketakutan karena berdekatan dengan cowok itu.
"Nya, udah semua?" Anya mendongak, berhenti menatap kardus-kardus di dalam gendongannya. la menyengir lucu ke arah Dhey yang sudah ada di atas motornya.
"Entar, Dhey. Gue kasih naik ini dulu," ujarnya dengan segera memprcepat langkah menuju mobil pick up yang mereka pakai hari ini untuk membawa barang-barang.
"Anya." Anya menghentikan gerakan tangannya yang merapikan barang di atas mobil. la menoleh ke belakang,menatap Raka yang juga menatapnya.
Anya melangkah, menuju motor Dhey, menunggu Raka mengatakan apa yang ingin dia katakan.
"Raina apa kabar? UDah lama nggak dengar soal dia." Ucapan Raka membuat Anya yang baru saja hendak naik ke atas motor Dhey, membeku di tempat.
Raina, ya?
Sekelebat, peristiwa Raina melakukan hal yang menjijikkan bagi gadis remaja berusia tujuh belas tahun itu berputar di otaknya.
Anya merinding, masih membeku di tempat. "Nya, ditanyain sama Raka tuh," imbuh Dhey, membuat Anya tersentak kaget dan refleks mendongak.
"Ah? Oh. Raina baik-baik aja, cuman emang gue nggak pernah ketemu lagi, sih." la menoleh ke arah Raka, memberikan cengiran lebar miliknya. '"Kan sibuk latihan," tambahnya dan memberikan ekspresi lucu dengan memandang jahil Raka. la dengan segera naik ke jok belakang motor Dhey.
Tidak memperdulikan Raka yang merasa tubuhnya memanas memandang ekspresi lucu Anya tadi.
"Astaga." Tangan Raka naik menyentuh dadanya yang kini sedang memberikan efek dramatis, tangannya bisa merasakan dentuman hebat dari jantungnya. Beruntung Anya dan Dhey sudah menghilang jauh membelah jalanan malam.
"Kak Raka, belum berangkat? Semua orang udah pergi, tuh."
Raka mengerjap kaget, memandang salah satu adik kelasnya yang sudah akan melajukan motornya.
Raka mengangguk pelan, agak ragu. Masih belum menguasai dirinya sendiri. Setelah ia sendirian di sana, ia menghela napas, menyadarkan kembali dirinya yang terlalu berharap tinggi.
Nggak mungkin gue bisa jadi karakter yang bantu Anya sembuh, seperti kata Raina.
Di perjalanan, Dhey dan Anya terdiam. Tak ada pembicaraan di sana. Anya merapatkan jaket yang sengaja tidak ia kancingkan agar baju dinas organisasinya masih bisa terlihat.
Raina.
Anya sibuk dengan pemikirannya sekarang. Sosok Raina yang begitu hangat di hari pertama mereka bertemu terputar. Anya tersenyum kecil, memandang langit malam yang tidak dihiasi bintang satu pun.
"Raina yang ditanyain Raka tuh Raina teman kelas lo 'kan, Nya?"
Anya mengerjap kaget. la menatap Dhey melalui spion dengan mata membulat besar. la tahu, jika ia mengangguk, Dhey akan menanyakan soal kenapa Raina di-drop out dari sekolah.
Ini adalah awal tahun, sudah biasa cuaca mendung dan hujan keras menghantam negara yang beriklim tropis ini.
"Kayaknya mau hujan," gumam Anya pelan, mengalihkan pembicaraan. Yang tidak Anya sadari Dhey mendengarnya.
Suara tawa Dhey membuat Anya mengeryit bingung. "Cuman hujan air doang. Itu mah bukan penghalang kalau kata kak Edo," kekeh Dhey sembari terus melajukan motornya dengan kecepatan sedang, mengikuti mobil pick up di depannya. Fokusnya benar-benar teralihkan dari pertanyaannya tadi.
Anya terkekeh, mengingat kembali bagaimana wajah marah seniornya saat mengatakan kalimat itu di hadapan anggota yang terlambat karena hujan.
Ekspresi marah dari kak Edo baginya terlihat lucu karena seniornya yang satu itu jarang menunjukkan wajah marahnya. Di lain sisi, jika Dhey maumemperhatikan lebih jelas, kekehan Anya terdengar canggung.
Sesuai perkiraan, hujan turun. Dari atas motor, Anya dapat melihat mobil pick up yang membawa barang persiapan lomba berhenti disusul dengan gerakan panik adik-adik kelasnya yang menutupi barang-barang dengan terpal.
Anya memakai tudung jaketnya saat Dhey tidak berhenti berjalan. Justru semakin kencang.
"Hati-hati aja, Dhey. Kita nggak bakal basah, kok." Sangat beruntung Anya dan Dhey memakai jaket tebal saat ini. Anya mengancingkan jaketnya sampai ke leher, agar air tak mengenai baju di dalamnya.
Beberapa menit di atas motor, mereka akhirnya sampai. Anya dan Dhey sama-sama berteduh di salah satu koridor bangunan.
Anya membuka jaket basahnya dengan cepat. Dia menghela napas lega melihat bajunya tidak basah sama sekali. la mengibaskan rambutnya, berusaha sedikit mengeringkan.
Anya memandang roknya dengan kesal. Sialan, rok hitamnya basah.
"Duh, tas gue di mobil," keluhnya memandang Dhey yang juga mengeluhkan hal yang sama.
"Ya udah sih tunggu mereka. Bentar lagi sam -- eh itu mereka," ujar Dhey heboh. Anya mengalihkan pandangan memandang mobil yang berhenti tepat di depan Anya dan Dhey.
Anya menunggu saat semua adik kelasnya bahu membahu menurunkan barang dari atas mobil. Anya ingin membantu, tapi langkahnya dihentikan oleh Raka yang juga baru sampai dan memilih beridri agak jauh dari Anya.
"Nggak usah. Itu tugas mereka."
"Mentang-mentang udah jadi senior," sindir Anya dengan senyuman mengembang. Walau begitu, Anya sendiri bersyukur karena ia tidak perlu capek-capek bahkan sampai harus bersentuhan dengan lawan jenis yang akan membuatnya ketakutan hebat.
Lucu sekali, pikir Raka.
Setelah semua barang turun, masing-masing dari mereka membawa barang bawaan pribadi dan barang-barang yang memang dikhususkan untuk persiapan lomba dan persiapan menginap mereka.