THE PAIN

St. Aisyah
Chapter #19

Delapan Belas : Telepon

Delapan Belas : Telepon

Setelah Raina merasa Anya sudah mencapai alam mimpinya, ia mendengus pelan. Cukup terkejut hebat saat Raka menelepon di tengah malam seperti ini. 

"Kok bisa siht Ka?" tanya Raina pelan. Takut sang sahabat yang kini terlelap terganggu. 

Raka menggeleng. Juga tidak paham apa yang terjadi. "Tadi gue nyariin dia, soalnya dia nggak muncul pas upccara pembukaan. Takutnya ada apa-apa, gue ke sini, dan dia udah kayak gitu, Na. Gue juga panik banget pas dengar ada teriakan dan itu dari dia." Hampir menjerit, Raka terdengar begitu frustrasi. 

Raina cukup mengerti bagaimana kondisi Raka saat ini. "Terus kok lo bisa kepikiran nelepon gue?" 

Raka menggeleng, lagi. Benar-benar seperti orang yang dilanda depresi. Pikiran gue blank, anjir! Cuma ada lo di pikiran gue tadi." Bahkan kini jeritan kecil tidck tertahankan lagi. 

Raina mendengus, bermaksud ingin menghina Raka karena begitu lemah. Tapi, lenguhan pelan terdengar dari arah belakang. Raina langsung refleks menoleh. Maju mendekati Anya, 

Raina tersenyum kecil. Memandang Anga kembali terdiam dan tertidur dengan dengkuran pelan. Efek hidung tersumbat pasti, pikir Raina. 

"Gue rasa dia harus pulang dulu, Ka.• Raina beranjak, kembali menghadap Raka. "Dia nggak ada Iomba penting, 'kan?" 

Raka mendecak. "Pasti ada lah," ucapnya menggaruk pipi.

"Tapi dia nggak mungkin lomba dengan keadaan kayak gini, Rak." Tersulut emosi, Raina menghela napas pelan berusaha tidak membentak. "Kita bahkan nggak tahu penyebab dia kayak gini tuh apa, kalau bentar pemicunya ada lagi gimana?"

Raka mengacak-ngacak rambutnya. Jika Anya pulang malam ini, apa yang harus dia katakan sebagai ketua di hadapan alumni-alumni? Sebagai ketua, posisinga terancom. Tapi di lain sisi, melihat Anya seperti ini, rasonya sisi Raka yang begitu mencintai Anya setengah mati ini memberontak, melawan Sisi ketuanya yang berusaha mendominasi

Ia menghela napas pelan. Memandang jendela yang memantulkan cahaya malam, walau tidak terlalu terang karena cahaya lampu ruangan ini. 

"Ini udolah malam. Kalian berdua nginep aja dulu. Bahaya di luar."

Raina mendengus geli. "Heh! Lo nelepon gue juga malam anjir, jahat ya nggak mikirin keadaan gue." 

Raka gelagapan. la memandang Raina dengan raut wajah bersalah. Sebelum ia mengalihkan pandangcn dan berucap pelan, "Gue nggak kepikiran, dong. Panik." 

Raina tertawa geli. Maju mendekati Raka dan menepuk bahu cowok itu. "Gue ngerti."

Raka menghela napas lega. 

"Gue tidur di mana? Semua pasti udah diatur 'kan, ya?" tanya Raina sesaat setelah berbalik dan duduk di tepi kasur yang Anya tiduri. 

"Sama Anya aja, biar gue yang urus."

"Okay."

"Ya udah, gue balik ya ke lapangan? Terlalu lama di sini ntar makin dimarahin lagi." Tepat saat Raka berbalik, segerombolan siswa yang Raka kenali sebagai anggotanga datang menuju ke arah penginapan, bersama beberapa senior alumni di belakang. 

"Weit. Raka kenapa nggak di sana--" Ucapan kak Edo terpotong saat memandang Raina yang terduduk dan Anya yang tertidur. Matanya membulat terkejut lalu memandang Raka dengan kerlingan jahil. "Oh, pantesan." Kak Edo mengangguk pelan seakan mengerti keadaan. 

"Eh?! Apa, kak? Nggak ada apa-apa, kok. Kak Edo, mah." Raka panik. tangannya bergerak-gerak heboh di udara. Raina melirik itu, tertawa dalam hati. 

"Emang gue bilang apa?" 

"Eh?"

Tawa renyah terdengar dari kak Edo. Raka menunduk merasa malu. Tapi, ia kembali mendongak, memandang seniornya itu yang maju mendekat ke arah Raina. 

"Hei. Gue Edo. Lo?"

Raina membalas salaman dari Edo dengan senyum sopon. Mengenali senior di hadapannya ini melalui cerita-cerita Anya saat mereka masih bersekolah bersama. 

"Raina, kak." 

"Uh, manis banget."

Perhatian tertuju kepada Edo yang memiliki nama asli Taufik itu. Semua orang yang tadinya memandang, tepatnya hanya melirik ke arah Raina, kini menoleh sepenuhnya.

 "Kak Edo, ih. Playboy-nya kumat." Siska, salahh satu junior yang cukup dekat kak Edo menarik kerah kemeja laki-laki itu. Edo hanyaa memandangnya dengan cengiran lebar. 

"Halo kak Raina. Temannya kak Anya, yah?" sapa Siska begitu manis, Raka di belakang mengerti, perempuan itu cemburu melihat Edo mengatakan manis pada perempuan lain. Maka ia mendengus karena menyadari manisnya dibuat-buat. Siska memang dekat dalam artian lebih dari kakak adik dengan Edo. 

Lihat selengkapnya