Anya memandang ke arah luar melalui jendelanya. Kaca bening yang akhir-akhir ini nampak selalu berembun karena hujan, hari ini begitu berbeda.
Tak ada embun, hanya cahaya menusuk mata. Anya menghela napas pelan. Matanya meredup saat dengan sengaja menoleh ke arah luar sekali lagi sebelum menutup tirai jendela.
Hujan hari ini pergi ke mana? Apa mereka ada janji dengan matahari? Membuat Anya merasa seolah semesta sedang bersenda gurau atas keterpurukannya kali ini.
Ini sudah hari ketiga sejak telepon hari itu. la tidak pernah beranjak dari kamar, bahkan untuk sekadar buang air, ia tidak memiliki keinginan itu.
Dari bangun tidur hingga tertidur lagi, ia hanya akan menyelimuti diri dengan selimut tebal yang juga tidak pernah ia ganti.
Wajahnya sudah begitu berminyak karena ia tidak pernah menyentuhkannya air. Kulitnya makin putih, menegaskan bahwa ia tidak pernah terkena sinar matahari selama tiga hari ke belakang.
"Assalamualaikum."
Anya mendongak, menatap pintu kamarnya dengan kerjapan ringan di mata. Itu suara sepupunya.
Selama tiga hari ini, ia sengaja meminta mama untuk tidak mengganggunya. Beruntung mamanya menurut tanpa berkata apa-apa. Dan, mamanya meminta sepupunya yang telah putus sekolah untuk membantunya mengerjakan tugas rumah, yang biasa Anya lakukan.
Anya seolah tak peduli lagi pada lingkungannya. Tidak peduli saat mama mungkin saja akan memikirkan apa yang telah terjadi padanya dan menangisi tindakan bodoh anak gadis ini.
Dua hari lagi, semester baru akan dimulai. Sialnya, Anya masih merasa dirinya tidak siap menjalani hari itu.
Pandangannya tertoleh ke arah tirai jendela berwarna hijau, tidak lagi peduli pada perbincangan adiknya dan sepupunya di ruang tengah yang bisa ia dengar jelas.
Anya merebahkan diri, dengan kepala tetap mengarah ke tirai jendela. Cahaya matahari tanpa tahu diri berusaha menerobos masuk, memberikan nuansa indah di dalam kamar yang gelap dan pengap itu.
Selama tiga hari ini, mamanya akan masuk, memaksa dirinya makan dengan menyuapi cewek itu. Di hari pertama, la berhasil memakan semua makanan.
Di hari kedua, karena rasa melilit di perutnya karena sebelumnya hanya makan sekali dalam sehari, membuat Anya memuntahkan apapun yang masuk ke mulutnya.
Mamanya sempat menawari untuk ke rumah sakit. Tapi, dengan mata memohon, ia menolak.
la tidak suka dengan mamanya yang perhatian seperti itu. Selama bertahun-tahun mamanya membangun tembok besar di antara mereka berdua, wanita yang begitu Anya hormati ini memberikan rasa kasih sayang yang berbeda dengan ibu kebanyakan.
Dan Anya terbiasa dengan hal itu. la terbiasa dengan mamanya yang tidak akan banyak tanya mengenai urusannya, mengenai harinya dan mengenai perasaannya.
la terbiasa dengan memandang tembok tinggi di hadapannya bahkan dengan sengaja memperkuat dinding itu.
Anya mengusap wajah dengan telapak tangan dengan pelan. la bergumam tidak jelas merasa begitu lelah dengan hari-hari yang ia lewati akhir- akhir ini.
la memejamkan mata, hendak tertidur bahkan ketika ia sadar ini masih pagi, dan mama dan papa begitu membenci orang yang tidur pagi.
Tapi, Anya mendengus tak peduli. Berusaha terlelap dengan harapan ada perasaan membaik di hati saat ia terbangun nanti.
Sedetik setelah ia merasa dirinya terhempas jatuh ke dunia mimpi, suara dengan nada mengejek terdengar.
"Depresi ya karena masa lalu?
Anya tersentak, terduduk begitu saja, memberikan efek tersengat pada kepala membuat ia refleks memegang dahinya. Napasnya terengah, dengan bahu naik turun dan dada yang kembang kempis.