THE PAIN

St. Aisyah
Chapter #21

Dua Puluh : Sebuah Alasan

Gadis itu menggerakkan bola mata, masih dengan mata tertutup, berusaha mencapai titik kesadarannya. Berhasil. la membuka mata dan mengerjap pelan, lalu semakin sering karena efek cahaya lampu dan seluruh warna putih yang mendominasi ruangan.

la melenguh pelan, merasa seluruh badannya lelah sekali. la menggerakkan pandangan menyusuri seluruh ruangan. la mendesah gusar saat tahu ini ada di mana.

Ada rasa hangat di tangan. Gadis itu menggerakkan bola mata menuju bawah, arah di mana tangannya berada. Saat ia sadar tangannya digenggam hangat oleh seseorang. Lawan jenis.

Refleks saja ia menarik diri, memaksa diri terbangun walau berakhir merintih sakit. la menjerit tertahan, dengan tubuh perlahan gemetar hebat. Jantungnya memompa darah begitu keras.

Karena jeritannya, laki-laki yang tertidur denganposisi duduk, hanya dengan kepala yang tersandar nyaman di pinggir kasur, melenguh dengan pelan, merasa kesadarannya belum penuh.

la memandang gadis di hadapan yang kini gemetar hebat — berusaha ingin mundur tapi kesadarannya mengingatkan bahwa ranjang yang ia duduki begitu tinggi dari lantai -- mengangkat alis, merasa heran.

Lalu sedetik setelahnya, matanya membulat sempurna. Tubuhnya menegak dengan gerakan spontan berdiri mundur dari sana, hingga suara kursi yang terjatuh menggema, menambah efek tegang.

"Anjing," umpat cowok itu pelan. Merasa telah berbuat kesalahan besar dalam hidup.

Gadis yang bernama Anya itu makin merapatkan diri di kepala ranjang dengan pikiran berkecamuk hebat. Pemikiran kotor sedari tadi berkeliaran di kepalanya. Apa ia semalaman berada satu ruangan dengan laki-laki di hadapannya? Oh tidak, bagaimana kalau cowok itu melakukan ses--

"Gue nggak ngapa-ngapain, Nya. Please tenang." Suara laki-laki itu menggema, dengan napas memburu.

Anya menggeleng, dengan tubuh semakin bergetar hebat, termasuk bibir pucatnya yang nampak semakin pucat. "L-lo habis ngapain, hah?!" Suaranya berusaha meninggi, walau nampak terdengar lemah.

Cowok itu memijat kening dengan pelan. Terus menatap Anya yang kini memasang wajah berusaha terlihat sangar. "Anya, gue nggak ngapa-ngapain. Please tenang, ya? Gue bahkan nggak pernah kepikiran buat ngelakuin yang nggak-nggak ke elo.”

Anya memegang kuat selimut yang menyelimutinya tadi, terisak pelan. "Rak ... ka."

Raka menegang. la mengerjap berusahamengusai diri yang sekarang justru merasa tercubit mendengar nada lemah dari gadis di hadapannya.

“lya, Nya? Ini gue." la hendak maju, tapi urung ia lakukan sebab melihat kondisi gadis ini.

"Lo--" Ucapannya terpotong karena isakannya. "Beneran nggak ngapa-ngapain, 'kan?"

Raka mengangguk yakin di sana. la menghela napas berat. Menatap gadis itu dalam, walau si gadis terus saja menunduk dengan isakan semakin keras.

"Maaf, Nya. Harusnya gue nggak tidur di situ tadi."

Anya membuka mulut hendak menjawab, tapi ia kembali mengatupkan bibr saat mendengar suara pintu terbuka.

"Anya?" Kepala gadis yang terbungkus rambut pendek itu melongok, dengan ekspresi polos yang terkesan dibuat-buat.

Gadis itu menegak dengan segera, berlari kecil ke arah ranjang Anya saat melihat bagaimana kondisi sang sahabat.

"Astaga, Anya. Lo kenapa?" Jelas, nada khawatir tersirat begitu kuat di sana. Anya menggeleng lemah, ia mengusap wajah berusaha terlihat tegar, lagipula ia sudah begitu sering menangis selama seminggu di rumah.

"Kok gue di sini?" tanya Anya pelan, menunduktidak berusaha menatap sekeliling lagi. Tak ada jawaban, mata Anya membulat terkejut saat sebuah pelukan hangat mendarat di tubuhnya.

"Gue khawatir banget sumpah. Dari pagi lo nggak sadar, Nya.”

Anya mendongak, menatap sang sahabat yang kini malah meneteskan airmata pelan. la mendengus geli, berucap dengan nada santai. "Kok lo nangis? Lebay, ah."

la berusaha mengingat, dan ingatannya membawanya pada saat ia berbincang dengan Raina di kamar. Anya yang langsung paham, mendongak ke arah Raina. "Mama, mana?"

"Pergi. Nyari bokap lo di pangkalan." Hari ini adalah hari Selasa, jelas bukan waktu di mana papanya ada di rumah. Papanya tidak menjadi supir bentor di sekitaran rumahnya, melainkan di tempat tinggal tante-tantenya. Agak jauh dari rumah, tapi mau bagaimana, rezeki nampak lebih menggiurkan di sana.

Anya mengeryit tidak suka mendengar hal itu. "Kok nyari papa? Gimana sih, papa ‘kan nyari uang di sana. Adek-adek gue?"

"Dia di rumah tante lo, Nya." Kali ini, giliran Raka yang menjawab, sesaat Anya terdiam, kemudian ia menggumam menjawab kalimat yang Raka lontarkan tanpa menoleh ke arah Raka. Makin mengeratkan pelukan dengan Raina.

Lihat selengkapnya