"Gue ada nih, Nya. Psikiater pro, keren dan masih muda dong kata Raina memandangi sahabatnya dengan mata berbinar.
Anya tuh heran, Raina tuh suka sesama, tapi masih aja suka fangirl-an kayak begini kalau ketemu cowok tampan.
Anya mendengus pelan. "Tapi, Na." la menegakkan tubuh, rnemperbaiki posisi duduk di sofa dengan Raina di samping. Jujur, kadang masih ada rasa trauma berdekatan dengan Raina seperti ini. Tapi, mengingat bagaimana sosok Raina selama dua tahun terakhir di hidupnya ini, Anya menekan rasa takut yang selalu saja muncul tanpa diperintah.
"Gue nggak ada biaya," cicitnya melanjutkan saat Raina memandangnya lekat.
Raina menahan napas. Ia masih terus memandangi Anya yang terlihat ingin bercerita.
"Gue tuh sebenarnya dari awal tahu keadaan gue, pengen banget sembuh, Na. Berkali-kali otak gue perintahin gue buat cerita semua ke mama, berkali-kali juga gue ditampar sama keadaan keluarga gue." Gadis itu rnendongak, menyandarkan leher di kepala sofa, berusaha menarik kembali butiran hangat yang menyeruak memaksa keluar. "Kebutuhan sekolah sama organisasi gue aja gue mati-matian jualan buat kekumpul," lanjutnya dengan suara yang memelan.
Anya kembali duduk tegak saat berhasil rnenguasai diri. "Tapi kali ini tuh gue ngerasa pengen banget sembuh, Na. Makanya pas kemarin di rumah sakit gue tuh tiba-tiba ngomong gitu. Gue bahkan nggak peduli lagi soal apa yang selama ini ngedesak gue biar nggak berobat."
Raina masih terdiam. Untuk sesaat ia seolah lupa cara bernapas. la sadar dengan hal itu, ia adalah saksi hidup bagaimana seorang Anya berjuang untuk tetap bisa aktif di organisasi.
Mereka terdiam cukup lama, sebelum Raina berseru dengan wajah berbinar.
"I got an idea," ucapnya bangga menatap Anya yang kini menoleh penasaran kepadanya. "Kita minta tolong ke nyokap."
Anya sesaat membulatkan mata, ia bahkan sedari tadi sudah duduk tegak menanti, tapi setelahnya ia melengos pelan dengan kedua bahu menurun kecewa. "Lo gila?" desisnya tidak suka.
Raina mengatupkan bibir, ia menggigit pipi bagian dalam, berkata dengan tenang. "It's okay, Nya. Cuman nyokap doang elah."
Saat ini mereka sedang duduk santai di ruang tamu Raina, dengan beberapa cemilan dan minuman di atas meja.
Untuk urusan perut, bertamu di rumah Raina tuh menjadi hal yang menyenangkan.
"Sok tenang banget, bangsat." Anya seumur hidup sangat jarang mengumpat, membuat Raina yang mendengar menipiskan bibir, rnerasa takut.
Suara dering ponsel di atas meja, membuat Raina bergerak cepat mengambil, bahkan sebelum Anya tidak sempat melihat apa itu ponselnya atau bukan,
"Halo, Ka, Kenapa?"
Hm?
"Gue sama Anya."
''Nggak usah ke sini lah. Lo tuh biarin gue berdua sama Anya emang nggak bisa? Cemburuan banget."
Anya mengeryitkan dahi merasa bingung siapa yang saat ini sedang berbincang melalui sambungan telepon dengan Raina.
Raina mendengus geli, teriihat seperti menahan tawa. "Becanda elah, Baper tuh cuma ke Anya jangan ke gue."
Anya menyikut Raina, memandang gadis itu ingin tahu. Melihat hal itu, Raina menipiskan bibir ke dalam, makin merasa ingin tertawa terbahak saat ini.
Saat telepon terputus, Raina benar-benar melakukan itu. la tertawa hingga terpingkal ke belakang.
"Siapa sih, Na?"
Raina menggeleng, masih dengan sisa tawa di sana, "Bukan siapa-siapa."
Raina menguasai diri. la berdehem pelan ialu berkata, "Jadi gimana? Mau ngikutin ide gue nggak? Gue rasa tuh ini satu-satunya jalan, Nya."
Anya mendesah. Memandang sang sahabat dengan raut wajah khawatir. la mengerti dan begitu paham bagaimana hubungan Raina dan ibunya dari awal kelahirannya. Gadis di hadapannya ini bahkan Anya rasa tidak pernah digantikan celana oleh ibunya sendiri.
Akhirnya, Anya mengalah, "Serah lo, dah,"
"Okey." Raina bertepuk tangan sekall, Anya memandangi itu dengan ekspresi geli. "Kita hubungin ibu dulu dia ada jadwal kapan. Kita suruh ke cafe aja, ya? Mall yang biasa gue sama Salsa datengin."
Anya mendelik mendengar hal itu. la berdengus keras, merasa sahabatnya ini tidak memakai otak saat ini. "Emang dia mau gitu ketemu di luar? Nggak takut paparazi?"
Raina bergumam tidak jelas, membenarkan pernyataan Anya. "Tapi, Nya. Gue rencananya pengin ajak Raka, kalau ketemu di rumah tuh nggak bisa ajak dia dong." la mencebikkan bibir ke bawah, merasa tidak suka dengan keadaan ibunya yang begitu takut dengan dunia luar karena merasa hidupnya akan terancam.
"Ngapain bawa Raka, dah?"
Raina memandangnya dengan tersenyum penuh arti. "Dah, Ikut rencana gue aja."