THE PAIN

St. Aisyah
Chapter #23

Dua Puluh Dua : Sudah Waktunya

Anya mengeryit pelan, memandang layar ponsel yang kini tengah mencoba menghubungi Raina, sahabatnya.

Dari kemarin, selepas mereka bertiga menghabiskan waktu bersama keliling mall atau hanya sekadar duduk di taman, Raina jadi makin sulit dihubungi.

Semalam saja, saat Anya begitu ingin protes kenapa psikiater yang ia datangi harus laki-laki — ia terlalu sibuk memikirkan masalah lain, sehingga lupa kalau dokternya laki-laki saat Raina memberi informasi --sehingga menghubungi Raina. Di panggilan ke sepuluh, baru teleponnya bisa tersambung.

Dan pagi ini masih sama. Ada apa dengan Raina?

"Pa-pagi, kak." Suara lembut itu mengayun. Anya mendongak dari layar ponsel, memandang adik kelas yang kini membawa sebuah kotak, Anya tidak peduli itu apa, lalu menoleh ke arah Raka, bertanya.

Raka hanya mengendikkan bahu. Pagi ini ia bersama Anya akan pergi menuju ke kepala sekolah, membahas soal surat perizinan orang tua serta surat izin kegiatan karena organisasinya akan mengadakan pendidikan lanjutan untuk syarat menjadi anggota penuh bagi adik kelas.

"lya?" jawab Anya akhirnya. Merasa tidak mendapat jawaban memuaskan dari endikkan bahu Raka.

"Happy birthday, kak Anya.”

Anya tersentak. "Eh?" la memandang layar ponsel, memperhatikan tanggal yang memang menunjukkan hari ulang tahunnya.

"Ah, oh iya, terima kasih, ya dik." Anya dengan canggung menerima dua kotak kado, dari si adik yang tadi menyapanya dan satu temannya lagi yang Anya baru sadari kehadirannya.

"lya, kak. Panjang umur ya, Kak." Anya tersenyum manis, masih merasa terkejut karena tidak mengingat ulang tahunnya sendiri.

Tapi, ia menaikkan alis sebelah, memandang ekspresi si adik kelas yang memandang Raka dengan wajah yang terlihat begitu terpesona.

Ah, seterkenalnya ia sebagai senior, nyatanya cowok di sampingnya jauh lebih terkenal.

Anya berdehem pelan, tersenyum memandang si adik kelas. la memberi kode kepada Raka untuk segera beranjak.

"Yuk, Ka. Nanti kepsek malah nggak ada lagi, sok sibuk ‘kan dia. Jarang di sekolah." Anya mengucapkan itu dengan nada bercanda, Raka memandangi itu dengan senyum geli, ia menoleh ke arah adik kelas pamit pergi meninggalkan dua adik kelas yang kini sudah merasa merona hanya karena memandang senyum cowok itu.

"Lo ulang tahun? Kok nggak bilang, sih? ‘Kan jadi nggak ada kasih kado." Raka menggerutu satu langkah di belakang Anya. Jujur saja tadi ia sempat membulatkan mata terkejut si adik kelas mengucapkan selamat seperti itu.

"Gue aja baru tahu sekarang."

Raka mendelik, kemudian terkekeh pelan, masih berjalan di belakang Anya. "Kok bisa ulang tahun sendiri nggak tahu."

Anya mendengus pelan, tak menyahut. Kini dua kotak di tangannya ia alihkan ke Raka, yang menerimanya dengan sigap. Paham, karena si gadis di hadapannya memegang beberapa lembar surat beserta ponsel yang sedari tadi ia pegang. Raka sempat melirik, siapa yang berusaha gadis itu hubungi sekarang.

Anya mendecak kesal. "Susah banget dihubungin. Pake nggak aktif lagi." Kemudian seperti tersadar, ia melanjutkan, "atau gue di blok, ya?"

Raka mengatupkan bibir, hendak menyahut tapi mereka sudah sampai di depan pintu ruangan kepala sekolah.

Baru hendak memegang kenop pintu, Anya mendelik tidak suka ke arah kanan, memandang beberapa siswa berpakaian rapi khas adik kelas baik hati mendekat padanya. Dengan beberapa kotak kado di sana.

"Kak Anya, selamat ulang tahun," ucap si kurus dengan wajah tampan putih bersinar mewakili, menyodorkan kotak berbungkus kertas berwarna biru.

Raka dengan sigap mendekat, saat melihat si laki-laki itu semakin maju, mendekati Anya yang menatapnya dengan jengah, walau berusaha untuk tetap bertindak sopan sebagai seorang senior panutan.

"Sini, kasih gue aja." Raka melakukan aksinya, menumpuk semua kotak kado di kedua tangannya.

"Tahu dari mana gue ulang tahun?" tanya Anya, melirik kini tumpukan di tangan Raka terlihat banyak, membuat cowok itu kesusahan. Anya membantunya, mengambil semua kotak kado, lalu menyimpannya di kursi tunggu yang memang disediakan di depan ruang kepala sekolah.

"Postingan kak Raina. Dia ngucapin selamat pas jam dua belas malam."

Anya menghentikan pergerakannya. la menegak melebarkan mata memandang si adik kelas yang kini sebagian di antara mereka merona terang-terangan di pandang seperti itu.

Raka mendengus pelan, merutuk dalam hati kenapa laki-laki di hadapannya ini begitu lemah, lihat senyum begitu saja dah merona, pikirnya.

"Seriusan?" Anya mengambil ponsel yang sempat ia taruh di saku seragam. Mencari dengan cepat postingan di instagramnya. Benar saja, di sana ada fotonya bersama Raina dengan keterangan ucapan selamat ulang tahun.

Hati Anya perlahan menghangat. la tersenyum merasa bahagia seolah teleponnya yang terus saja tidak diangkat tidak terjadi.

Beberapa adik kelas terlihat menjerit tertahan. Membuat Raka mendecak, menyuruh mereka pergi setelah memberi saran agar menjadi laki-laki harus bisa terlihat lebih cool, seperti dirinya.

"HBD, Nya." Raka meraih satu kotak kado paling teratas lalu menyerahkannya di hadapan Anya. Anya mendongak, masih tersenyum setelah menyimpan kembali ponselnya di sakunya.

"Makasih. Walau ini kado orang sih," guraunya dengan tawa kecill. Raka membulatkan mata, walau akhirnya ia mengerjap, berusaha mengusai diri.

Masa iya, dia juga menjerit seperti si adik kelas tadi.

"Ya udah yuk, masuk. Kadonya taro sini aja dulu."

Raka mengangguk, menyusul Anya yang sudah melangkah ringan masuk terlebih dahulu. 

***

Sepulang sekolah, Raka dan Anya menunggu di depan gerbang. Menunggu taksi online yang sudah mereka pesan.

"Gue kaget sih lo nggak bawa motor," ucap Anya tiba-tiba, memandang Raka yang terlihat menggerutu karena si supir belum juga sampai.

Lihat selengkapnya