The Partner Next Door

Tia Givanka
Chapter #16

Bagian 16

Diora melihat kalender yang tertempel di ruang keluarga itu dengan kening berkerut. Jika dilihat-lihat dan dihitung-hitung, wisuda akan dilaksanakan kurang lebih sebulan lagi. Hari ini juga adalah batas akhir mendaftar wisuda. Diora lebih takut menghadapi bulan esok karena janji yang sudah dia ucap pada Bagas daripada kuis-kuis, UTS dan juga UAS.

“Bagi es krim lo,” kata Wildan yang berdiri di sebelah Diora. Adiknya itu segera memberikan es krim yang tersisa setengah pada Wildan. “Ngapain lo ngeliatin tanggalan? Mau nyari hari baik buat ditembak?”

“Ih bukan urusan lo. Kafe lo yok. Gue bete tau.”

“Ayok.” Wildan segera menelan sisa es krim hingga tandas. “Gue kasih lo air mineral asli pegunungan dan tanpa disuling.”

“Lo kalo mau ngeracunin gue mah langsung aja sini,” desis Diora. “Durhaka lo sama adek.”

“Mana ada ceritanya yang lebih tua durhaka. Ngadi-ngadi lo.”

“Ah bodo. Maa, aku pergi sama Bang Wildan ya ke kafe. Bete di rumah gak punya pacar. Kita ziarah besok aja, Maa.”

“Heh, mau ke mana kamu?” Mama melongokkan kepalanya dari pintu dapur.

“Kape, Ma. K-A-P-E.”

“Ooh. Pulangnya nanti beli martabak telor ya yang spesial jangan yang biasa.”

“Siap, Nyonya.” Diora nyengir kuda sebelum dia merangkul tubuh Wildan yang lebih tinggi dua puluh senti darinya. “Bang, gue cantik gak?”

“Kagak,” jawab Wildan, pendek dan jelas. Jelas menusuk kalbu. “Eh iya, lo kemaren pulang dianter siapa?”

“Temennya Diego. Gue gak sengaja ketemu pas ke Pahoman.”

“Jauh amat lo ampe Pahoman. Kenapa gak bilang gue?”

“Gabut gue. Bete.” Diora membuka pintu mobil. “Kapan lo ngelamar Kak Oliv?” tanyanya kemudian ketika Wildan memasang seatbelt.

“Kenapa nanyain? Kayak lo ada pasangan aja kalo ntar gue ngelamar Oliv.”

“Idih nyebelin banget lo. Sumpah males dah gue ngomong! Gak! Gak! Gue gak mau ngomong sama lo.”

Wildan terkekeh geli sembari memasukkan persneling sebelum akhirnya melajukan mobil itu. Dia masih tertawa ketika mobil sudah memasuki jalan raya. Menjahili adiknya tersayang memang menjadi penyemangat dan penghibur dirinya dikala lelah. Dengan sikap periang dan jenaka yang dimiliki Diora, siapa saja bisa terpikat pada saat pertama berjumpa. Wildan masih mengingat ketika Diora menangis saat terlahir ke dunia ini. Lalu ketika melihatnya masuk SD hingga kuliah kini. Tanpa sadar waktu sudah bergulir begitu cepat. Sosok manis Diora kini sudah beranjak dewasa.

“Ra, beneran yang kemaren itu temennya Diego bukan Diego?”

“Ya bener lah. Mana ada sejarahnya gue mau pulang bareng sama Diego. Maap maap kata nih, kalo emang cuma ada dua pilihan antara dianter Diego apa jalan kaki, gue lebih milih jalan kaki,” kata Diora berapi-api.

Wildan berdecak tidak percaya. “Tapi lo kok bisa bareng temennya Diego? Lo kenal dia?”

“Ya cuma kenal sih, pas gue nyamperin si sempak kendor di kampus. Gitu doang.”

“Ooh. Gak lo ajak masuk?”

Lihat selengkapnya