The Partner Next Door

Tia Givanka
Chapter #22

Bagian 22

“Et! Et! Gak kena. Anjir meleduk!” Diora segera melompat mundur ketika melihat telur ceplok alias telur mata sapi a la-a la itu meletup dan mencipratkan minyak. “Duh gila, udah berasa Perang Dunia. Gue kudu gimana?”

Ini salah satu alasan Diora malas untuk memasak, apalagi kalau sudah berhubungan dengan minyak. Ampun dah, kalau sudah kena tangan panasnya bukan main. Sejauh ini yang bisa Diora lakukan hanya memasak air, memasak nasi dan juga mi instan. Dia pernah mencoba memasak yang lain namun hasilnya malah panci milik Mama berlubang dan masakannya menjadi gosong.

Diora akhirnya bisa mengangkat telur itu setelah membalur lengannya dengan secarik kain agar tidak terkena minyak panas. Benar-benar, Diora jadi semakin sayang dan bangga dengan Mama yang setiap hari berjibaku dengan dapur padahal adegannya saja seram seperti ini. Orang tua seperti Mama rasanya harus mendapat penghargaan karena berhasil melewati rintangan dan bahkan sudah tidak lagi terasa berat.

Diora menikmati telurnya yang sudah ditambah dengan kecap dan potongan cabai rawit. Dia melihat kalender yang tertempel di dinding ruang makan. Rasanya seperti baru saja kemarin Bagas mengajaknya datang wisuda nanti tapi nyatanya waktu sudah berjalan begitu cepat dan tanpa terasa dua minggu lagi wisuda bulan Mei akan berlangsung. Ah Diora hampir lupa, kan ada Diego yang bisa membantu, lagian dia juga belum pernah meminta bantuan dari Diego.

Diora menghembuskan napasnya lalu membawa piring yang sudah kosong ke dalam bak cuci piring untuk nanti sore dia cuci. Sudah menjadi kewajibannya membantu Mama, salah satunya adalah mencuci piring, membersihkan rumah dan lain-lain. Setidaknya, Diora tidak harus melihat Mama kelelahan karena sudah menjaga butik seharian. Wildan juga terkadang membantu jika sedang tidak sibuk dengan kafe.

Rumah saat ini sepi, seperti biasa Mama sibuk di butik dan Wildan sibuk dengan kafe. Satu jam yang lalu, Ani mengiriminya pesan akan datang berkunjung, tapi Diora yakin bukan hanya sekadar berkunjung, pasti ada maksud lain.

Diora duduk di ruang keluarga, menyalakan televisi dan mencari acara yang menarik. Kebetulan sekali ada film Bollywood yang tengah diputar dan pas ketika musik bermain. Bibirnya menyenandungkan lagu secara asal, ah biarkan saja, toh tidak ada yang mendengar. Tetangganya tidak akan ribut dan protes di depan rumah. Ah tapi rasanya Diora mendengar suara dari luar.

“Diora, ya ampun. Maaf ya tante ganggu kamu yang lagi nyanyi.”

Diora memasang wajah cengo. Aduh, dia jadi malu karena Tante Rita mendengar suaranya. Besok-besok dia harus minta Wildan memasang alat peredam suara di rumah. “Eh gak apa-apa kok, Tan. Ada apa nih, Tan? Ada yang bisa aku bantu?”

“Iya ini, tante tuh kepengen banget rujak. Kan dari kemaren itu loh panase nyelekit tenan, jadi ya tante mau ngerujak. Pohon mangga belakang rumah kamu ada buahnya gak, Ra?” jelas Tante Rita. Dia tidak mengambil duduk meskipun Diora sudah mengizinkan.

“Yaah Tante telat. Mangganya udah diambilin minggu lalu sama Mama. Sekarang sih udah gak ada lagi,” kata Diora, dia menambahkan ketika melihat raut kecewa Tante Rita. “Kayaknya di blok G sana ada deh Tan. Mangga punyanya Pak Komar. Kalo mau kita ke sana aja, Tan.”

“Oh iya, iya. Ya udah, tante ambil plastik dulu ya, Ra.”

Diora mengangguk, mengikuti Tante Rita dengan pandangan sebelum akhirnya dia kembali memasuki rumah. Omong-omong, Diora juga jadi ingin memakan mangga. Pohon mangga di belakang rumahnya sudah berbuah terlebih dahulu dan sudah habis tak bersisa karena sudah dipanen.

Diora mematikan televisi lalu dia beranjak keluar. Mengunci pintu dan berbalik dan hampir meloncat terkejut karena sosok Diego sudah berdiri menjulang di sana. “Ngapain lo? Mau ngintipin gue? Bintitan tau rasa lo!”

Diego mendengus, “Gue besok gak ada kerjaan. Gimana kalo lo ikut gue periksain otak lo yang udah gak waras itu?”

“Idih. Pikiran lo itu kali yang udah gak waras. Mau ngapain lo ke sini?”

“Ngambil mangga.”

“Ha?” Diora mendesis. “Apa? Ngambil mangga? Lo bego ya, gue ini manusia bukan pohon mangga. Dan sisa-sisa makanan dalam tubuh gue jadinya lemak dan tai, bukan buah.”

Plastik kresek transparan di tangan Diego itu akhirnya digunakan untuk membungkus kepala Diora sampai robek dan tidak bisa dipakai. Diora sudah mencak-mencak namun Diego memilih berlalu. “Buruan deh. Lama lo jadi cewek.”

“Badjingan!” Diora menghentak lalu berjalan bersungut-sungut menyusul Diego. Plastik kresek yang mengalungi lehernya sudah dia lepas dengan kasar. Dia harus memberi pembalasan pada Diego. “Eh, kenapa jadi lo sih yang ikutan ngambil? Ah gue tau, lo pasti seneng kan deket-deket sama gue.”

“Asal lo tau aja ya, cewek bar-bar, sedari keluar rumah gue gak berhenti baca ayat kursi. Biar gak digodain setan.”

“Ih anjir. Kurang ajar lo. Jangan kira lo tua jadinya bisa seenaknya.”

Lihat selengkapnya