Diora memanggil Panji dengan siulan agar cowok itu menoleh. Kemudian dia mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya, Panji yang sudah paham segera melempar selembar kertas yang sudah dibentuk bulat. Kertas itu mendarat tepat di atas meja Diora. Kertas berisikan jawaban soal kuis nomor dua. Kuis hari ini adalah kuis mata kuliah Cross Culture Understanding. Dosennya benar-benar tidak jelas. Kadang menjelaskan sesuatu yang benar-benar kosong, atau bertanya mengenai kelanjutan kata, contohnya seperti kata merupakan, maka beliau hanya akan mengucapkan kata me- saja lalu bertanya pada setiap mahasiswa.
“Me... me... me?” tanyanya sambil menunjuk satu per satu mahasiswa, kalau tidak ada berhasil menjawab benar, beliau akan melanjutkan, “Oon kalian ini.”
Seisi kelas dibuat terheran-heran, terbengong-bengong dan terpukau. Ya siapa yang tau sih kelanjutan dari me- itu, memangnya di dalam Bahasa Indonesia hanya ada dua kata yang kata depannya me-? Tidak bukan.
Tapi suatu hari, ketika hari presentasi kelompok, ntah mendapat ilham dari mana, Diora mampu menjawab pertanyaan dosen tersebut dengan benar. Dosen tersebut tersenyum tipis dan Diora juga jadi tersenyum. Namun, untuk kuis sekarang Diora harus angkat tangan karena tak ada materi yang masuk ke otaknya. Terlalu banyak dan terlalu ribet atau mungkin karena dia memang malas saja.
Diora kembali melemparakan kertas itu pada teman sekelasnya yang lain. Akhirnya kertas itu berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Bergulir pada setiap mahasiswa yang membutuhkan jawaban. Tak usah muluk-muluk, Diora hanya ingin lulus dari mata kuliah ini, dia malas mengulang mata kuliah yang tidak dia sukai. Apalagi dosennya.
Diora menyandarkan punggungnya, matanya nyalang kembali menatap sekeliling, mencari jawaban atas soal yang belum dia jawab. Soalnya memang hanya ada dua, tapi anak soalnya di setiap nomor ada lima buah. Mana soalnya susah semua, bahkan teman sekelasnya yang membuka buku saja tidak bisa menemukan jawaban.
Diora melirik ke bagian belakang, wajah-wajah di sana sama kosongnya dengan dia. Yang berada di barisan depan juga sama, mereka malah saling lirik dan tengok depan belakang. Dosen yang mengawasi nampak sibuk dengan suatu bacaan di tangan, tak memerhatikan.
“Mana? Udah belom?” bisik Diora pada Rahman yang berjarak dua bangku darinya. Cowok itu tidak mendengar dan Diora terpaksa mengulang. “Udah beloooom?”
“Udah, jawabannya di Ani,” balas Rahman juga sambil berbisik.
Diora beralih pada Ani yang sedang menulis begitu seriusnya sampai-sampai pada panggilan ketiga cewek itu baru menoleh dan melempar jawaban.
Diora buru-buru menyalin jawaban dari kertas lecek di hadapannya. Masa bodoh dengan jawaban yang tertulis, yang terpenting dia menyelesaikan kuis ini. Toh ini hanya kuis, belum ujian tengah semester ataupun akhir semester.
Sempak Kendor : Lo dmn?
Diora merenggangkan kedua tangannya selagi membaca pesan dari Diego ketika kuis sudah selesai. Dibalasnya pesan itu.
Diora : Fkip as always
Sempak Kendor : Gw mw ksn
Diora : Buat?
“Raaa, ada yang nyariin lo, nih!” Panji berteriak dari pintu kelas, membuat perhatian seisi kelas yang tersisa menjadi terpaut.
“Ciee, siapa tuh, Ra? Kak Bagas, ya?”
“Ha? Ya kali. Gak usah ngadi-ngadi,” balas Diora sembari membereskan tasnya. Dia beranjak dan melihat Diego di depan kelas. Super sekali orang ini, belum ada satu menit memberi pesan sudah ada di depan kelas. “Lah si sempak, ngapain lo?”