Diora memakan kentang goreng dengan lahap lalu dia memakan ayam goreng bagian dada yang Diego belikan untuknya lengkap dengan segelas cola berukuran sedang. Cowok itu sempat bertanya apakah semua sudah cukup dan Diora menjawab itu lebih dari cukup.
Dia duduk bersama dengan empat orang lainnya, Diego duduk di sebelah kirinya dan ada Gilang di sebelah kanannya. Diora berkumpul dengan teman-teman Diego yang pernah dia temui ketika bermain futsal. Sedangkan sosok Sarah duduk di seberangnya. Cewek itu mengenakan kemeja putih yang kedua lengannya digulung lalu dipadupadankan dengan jins berwarna biru yang membentuk lekuk kakinya. Rambut cewek itu tergerai hingga ke punggung dan melingkar di bagian ujungnya.
“Lo punya inner beauty yang beda dari Sarah, Ra. Tenang aja. Gue tetep suka sama lo,” bisik Gilang di dekat telinga Diora. Jemari cowok itu berada di siku Diora.
“Ha? Emangnya gue peduli sama omongan orang apa?” sinis Diora juga dalam bentuk bisikan. “Ngapain lo deket-deket sama gue?”
“Kenapa emangnya? Lo sama Diego kan bukan pasangan beneran.”
“Diem deh lo, jangan banyak bacot.”
“Oke.” Gilang mencomot kentang goreng di hadapan Diora dengan santai, sebelah matanya mengedip dan hal itu membuat Diora membayangkan melayangkan tinjunya ke wajah Gilang.
Gila kali, dipikir Diora akan terpikat. Tidak sama sekali, Bung.
“Maaf ya Diora, gue sama yang lain gak ada maksud ngacangin lo,” kata Sarah sembari menyesap cola. “Gak usah diem aja, nimbrung aja gak apa-apa, kok.”
Gak apa-apa pala lo pitak, asal nimbrung kalo yang diomongin gak nyambung ya susah lah, batin Diora.
Alih-alih, Diora nyengir kuda sembari memasukkan potongan-potongan kentang goreng ke dalam mulutnya. Jujur saja, dia dan Sarah berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dalam topik pembicaraan. Pembicaraan Sarah terlalu visioner, selalu memandang sangat jauh. Diora sih tidak pernah sampai muluk-muluk ingin menjadi ini dan itu, yang paling penting dalam hidupnya adalah berbakti pada orang tua, berguna bagi bangsa dan tidak menyusahkan siapapun. Itu saja. Tapi Sarah mempunyai keinginan yang bagus, kalau diperhatikan tak berbeda jauh dari sosok Bagas meskipun cowok itu tak pernah mengungkapkannya secara tersurat. Sarah tipikal orang yang lebih senang mendapat perhatian dan pujian, ingin menjadi pembicara pada sidang PBB bahkan kalau bisa menjadi Menteri Luar Negeri.
Tidak, Diora tidak skeptis jika Sarah tidak mampu hanya saja semuanya tidak sesuai dengan kemauan otaknya. Biasanya jika berkumpul dengan tiga teman kuliah, mereka hanya membahas hal-hal remeh lalu membuat lawakan dari sana. Tak pernah terlalu berat karena hidup saja sudah berat.
“Oh iya Ra, minggu besok mau ada futsal lagi. Lo mau ikut gak?” tanya cowok gondrong yang duduk di sebelah Sarah. Futsal waktu itu, dia satu tim dengan Diora.
Diora membiarkan cola itu mengaliri tenggorokan lalu menjawab, “Ikut dong kalo sore mah. Eh tapi jangan hari Senin sama Rabu. Capek asli kuliah gue nyampe sore.”
“FKIP emang mantep bener dari pagi nyampe sore. Udah kayak anak sekolahan.”
“Yah namanya juga calon guru, eh nyambung gak sih?”
“Nyambung kok.” Cowok itu—yang Diora tidak ingat namanya siapa—terkekeh. “Nih Sar, gue kasih tau, Diora ini maen bolanya beeeuh jago. Kemaren aja dia bisa nyetak gol.”
“Oh ya? Jarang-jarang lho gue liat cewek main futsal.”
“Jarang bukan berarti gak ada,” sahut Diora santai. “Gue udah biasa maen bola sama anak komplek, dulu sih. Sekarang aja yang gak karena udah pada punya kehidupan masing-masing.”
“Memang sih, waktu pasti bakal ngerubah semuanya tapi gak sama memori, ya kan?”
“Bener banget. Sori nih gue gak pake embel-embel Kak manggilnya, gak dihukum, kan?”