The Partner Next Door

Tia Givanka
Chapter #27

Bagian 27

Ajegile. Jadi lo sama dia buat perjanjian gitu?”

Diora mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Panji. Selepas kuis usai dan sebelum menemani Diego bermain futsal, Diora menyempatkan diri menjelaskan pada tiga temannya. Ani dan Panji nampak terkejut sedangkan Rahman bersikap biasa saja sembari menyesap kopi hitam miliknya.

“Bentar, bentar, kenapa juga lo pake acara deket sama dia kalo cuma mau jauhin Bagas? Kan ada gue sama Rahman kali yang bisa lo manfaatin.”

“Ah, lo ini pinter tapi oon kadangan. Gini lho, sedari awal juga orang-orang taunya kita temenan, mana mungkin gue manfaatin lo sama Rahman. Gak bisa beneran.”

“Oke deh. Tapi kenapa nyampe kayak gituan?”

“Karena lo tau sendiri deh kalo gue gak bisa ngusir Kak Bagas gitu aja. Gue gak tega.”

“Eleh, giliran Kak Bagas aja lo jadi adem ayem,” komentar Ani.

Diora berdecih. “Bukannya adem gitu Ni, tapi lo tau sendiri kan gimana nyablaknya mulut gue? Kalo ntar gue ngusir dia pake omongan kasar gimana?”

“Eh iya juga,” ucap Ani. “Nah, gimana jadinya perjanjian lo sama dia?”

“Ya nyampe Kak Bagas pergi terus mantan dia balik lagi,” jawab Diora. “Tapi lo betiga jangan nyampe bocorin ke orang-orang. Gue musuhin ntar.”

“Siap. Galak banget lo jadi orang,” sungut Panji. “Udahlah gak usah bahas itu lagi. Ke King yok jam tujuh nanti.”

Ani dan Rahman kompak mengiyakan, hanya Diora sendiri yang menggeleng tidak bisa. Ya bagaimana, sehabis ini saja dia ada acara futsal. Pastinya akan menguras tenaga karena dia tidak hanya sekadar menonton melainkan terjun langsung ke lapangan.

“Besok aja, sih. Gue ada jadwal futsal hari ini,” ujar Diora membuat ketiga temannya tersedak ludah sendiri. “Kenapa? Gue bisa main futsal, lo kan udah pernah liat gue main kali. Gak usah heran gitu.”

“Ye bukannya itu, tapi lo futsal sama siapa? Sama tetangga lo?” tanya Panji.

“Yoi. Temen-temennya enak main futsal. Kita dong kapan-kapan main futsal juga.”

“Bisa diatur tuh,” sahut Rahman yang sedari tadi hanya diam. “Gue kiper andalan. Kayaknya sih ada kating yang ngajak. Ntar gue atur deh.”

Anaaah siap kalo gitu, lah. Ya gak, Ra?”

“Yo pasti.” Diora mengiyakan. “Eh sori, gue kudu pindah. Mau futsalan dulu. Byee!” Setengah berlari, Diora menghampiri Diego yang sudah duduk rapi di atas tunggangan besarnya yang tidak Diora suka.

Membayangkan rasa sakit punggung dan juga ketakutan jatuh dari motor membuat Diora mual sendiri. Kenapa sih cowok-cowok suka menaiki motor semacam itu? Ah bodoh, ya buat apa lagi kalau bukan mencuri-curi kesempatan tentu saja.

“Mau beli makan dulu?” tanya Diego sembari menyerahkan helm pada Diora. Cewek itu menggeleng. “Chatime?”

“Oke kalo Chatime.” Diora duduk di boncengan dengan susah payah. Kenapa motor ini begitu tinggi, sih?

“Tapi gue mau beli bakso bakar dulu. Lo temenin gue.”

“Ya iyalah. Gue duduk di belakang lo gini. Ya kali gue mau lompat konyol gitu aja.” Diora merapikan posisi duduknya agar nyaman. “Kalo masalah makanan sih gue pasti ikut.”

“Dasar cewek rakus.”

Diego ternyata memesan bakso bakar dan langsung memakan di tempat. Dia membelikan seporsi juga untuk Diora yang sudah duduk manis seperti anak kecil menunggu makanan. Dua sudah menjelaskan jika Chatime pesanannya sudah diantar terlebih dahulu ke lokasi futsal. Kali ini mereka bermain di lapangan berbeda. Katanya sih ingin menikmati sensasi baru.

Sesampainya di lapangan futsal, Diora melihat teman-teman Diego yang sudah datang dan tengah melakukan pemanasan. Diego yang berada di belakangnya itu beranjak menuju kamar ganti dan tak lama kembali. Cowok itu menunjuk ke arah Chatime yang berada di sebelah ransel berwarna biru langit. Chatime milik Diora. Cewek itu segera mengambilnya dan menyeruputnya tanpa pikir panjang. Apa lagi yang enak selain minuman ini, ha?

Tenggorokannya benar-benar terisi sekarang. Lega. Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama karena sudut matanya menangkap sosok yang tidak asing berada di lapangan futsal nomor dua. Cowok itu memunggunginya namun tulisan di balik baju itu jelas tertulis Bagas. Diora berharap itu bukan cowok yang dimaksud di dalam otaknya. Namun ketika berbalik, pupus sudah harapannya. Itu memang Bagas. Sosok yang berdiri beberapa meter darinya. Dia hendak berpaling namun terlambat, Bagas menyadari kehadirannya di sana.

Diora memaki dalam hati. Chatime yang sudah sampai di tenggorokannya hampir saja termuntahkan. Dia berpaling, melihat ke dalam lapangan tempat di mana Diego dan teman-temannya sedang berbincang. Ah masa bodo, dia harus pergi menghampiri Diego.

Lihat selengkapnya