Rasanya tak ada yang lebih menyakitkan lagi daripada jemari kaki yang kepentok kaki meja. Rasanya itu terasa dari ujung hingga ke ujung. Diora membuka mulutnya namun tak ada suara yang keluar sama sekali. Sebelah kakinya dia angkat dan ditahan dengan sebelah tangan. Badannya bergetar dan memengaruhi seluruh rumah.
Dengan memegang segelas kopi di tangan, Wildan menatap adiknya itu. “Lo ngapain? Latihan goyang ngebor?”
“Goyang ngebor apaan, kaki gue kepentok tau!” balas Diora bersungut-sungut. “Sakit banget beneran.”
“Kirain kan lo mau menghidupkan tarian lama lagi.” Wildan berlalu memasuki kamar.
Sementara itu rasa sakit di kaki Diora mulai berkurang. Dia melihat ke arah kakinya, menelisik siapa tau ada luka terbuka di sana. Nihil. Dia bersyukur. Diora menoleh ketika Wildan memanggilnya, cewek itu beranjak memasuki kamar Kakaknya.
“Ada apaan nih?”
“Laptop lo gimana?”
Diora menarik kursi dan duduk di atasnya. “Masih kayak kemaren. Gak hidup.”
“Udah lo cek kenapa?” tanya Wildan.
“Udah, katanya tuh motherboard-nya yang rusak dan kalo dibenerin mahal. Punya gue kan modelan lama, RAM juga masih kecil. Kata orangnya sih sayang kalo dibenerin, mending beli baru yang agak mendingan,” jelas Diora. Beberapa hari yang lalu dia sempat menanyakan masalah rusaknya laptop miliknya pada salah satu teman SMK yang sudah bekerja di salah satu service center laptop ternama.
Wildan menghembuskan napasnya perlahan, disesapnya kopi dari gelas. “Gue belum bisa beliin lo yang baru, untuk sekarang pake punya gue aja.”
“Selo aja kali.” Diora mengibaskan sebelah tangannya di udara. “Gue juga gak terlalu butuh-butuh amat, lagian masih ada tetangga sebelah.”
“Idih, bilangnya gak suka tapi minjem barang dia terus.”
“Ya biarin, Tante Rita juga ngebolehin kok.”
“Eh ngomong-ngomong nih, lo beneran punya hubungan ya sama Diego?”
“Hubungan? Kalo tetanggaan sih iya.”
“Pasti lebih, soalnya gue heran aja kok lo mau gitu nyampe maen futsal sama dia padahal tadinya dianterin dia aja gak mau.”
“Ya beda dong. Kan kalo futsal gue gak sama dia doang. Tapi ada temen-temen dia yang enak.”
“Tapi tetep aja gue yakin lo bedua pasti bakal ada apa-apa nanti.”
“Gak usah ngadi-ngadi.” Diora menggerak-gerakkan kedua kakinya yang tidak menyentuh lantai. “Eh kok Kak Oliv gak pernah ke sini lagi, sih?”
“Dia kan udah masuk agensi,” jawab Wildan. Dia menyandarkan tubuh ke kepala kasur. “Jadi dia secara resmi ya ke Jakarta, udah mulai juga minggu besok.”
“Waah jadi HJJ dong lo alias hubungan jarak jauh.”
“Ya mau gak mau. Lagian nanti gue juga ke Jakarta nengok dia.”
Kedua mata Diora membelalak mendengarnya, tentu saja dia ingin ikut. “Iiih, ikut dong kalo ke sana. Sekalian liburan, kaaan.”
Wildan menggeleng mantap. “Gak. Lo mending di rumah aja, jagain Mama.”