Diora mengunci layar ponselnya setelah melihat ada satu pesan masuk dari Diego. Dia masih kesal dengan tingkah cowok itu kemarin yang mengabaikannya. Sebenarnya sudah sejak pagi ini cowok itu mengajaknya berbicara namun Diora menolak. Siapa yang tidak marah dan kesal diabaikan dan Diego seolah-olah melupakan tujuan utamanya.
Heran. Cowok itu hanya pandai mengatai orang tanpa pernah berkaca pada diri sendiri. Lagian Diora tidak butuh Diego, jika perjanjian mereka berakhir maka tidak masalah. Diora senang dan tidak merugi. Toh Bagas juga sudah menganggapnya memiliki pasangan, bukan?
Diora kembali meletakkan ponselnya di dalam tas sebelum kembali meluncur di arena skateboard. Biasanya dua hingga tiga bulan sekali dia datang ke Taman Gajah guna bermain skateboard ataupun sepatu roda, karena taman ini menyediakan dua fasilitas tersebut. Terkadang dia juga bermain basket bersama beberapa orang yang baru dia kenal.
Di arena skateboard, sudah ada dua komunitas yang memang sering datang. Diora sudah cukup paham dan dekat dengan beberapa di antaranya. Ada yang meminta Diora untuk bergabung namun Diora menolak karena dia hanya sekadar menyukai permainannya tidak dengan perkumpulannya. Waktu kuliah yang begitu padat juga membuatnya tak bisa mengikuti komunitas, jangankan komunitas, UKM saja tidak bisa. Sewaktu semester satu dia pernah ikut UKM BEM tingkat Universitas namun baru beberapa minggu Diora mundur karena jadwal kuliahnya sudah cukup membuatnya kurang tidur. Belum lagi dengan berbagai macam tugas makalah, presentasi hingga ujian.
Sayangnya, Diora bukan orang yang multitasking sekali. Dia memiliki kontrol yang buruk dengan pembagian tugas dan juga waktu hingga dia harus membuat catatan apa saja yang harus dikerjakan terlebih dahulu.
Papan beroda di bawah kakinya meluncur dari ketinggian satu meter, membawa Diora merasakan angin sore. Kedua kakinya berputar mengajaknya bermain di atas papan. Kemudian tubuh Diora sedikit menunduk kala arena itu menanjak, sebelah tangannya berada di balik papan siap mengangkat, dan dia melakukan gerakan melompat di atas papan. Tapi aksinya gagal hingga tubuhnya merosot dan terpisah dari papan beroda.
Diora terkekeh pelan sembari dibantu bangkit berdiri oleh salah satu orang. Dia mengambil skateboard dan keluar dari arena menghampiri Ani yang sedang merekam dengan ponsel.
“Hape lo dari tadi geter-geter tuh. Kayaknya ada telpon,” lapor Ani begitu Diora duduk di sampingnya.
Diora segera mengeluarkan ponsel dan mendapati Diego berusaha menghubunginya sebanyak tiga kali.
“Ah si cowok sempak yang ganggu,” kata Diora kemudian. “Panji sama Rahman mana?”
“Beli makanan dan gue yang ditinggal.”
“Idih, tu bedua kan kalo beli makan lama mikirnya. Heran.” Diora menenggak air minum dari botol yang dia bawa dari rumah. Kedua matanya menyaksikan kegiatan di depannya.
Matahari masih bersinar terang benderang meskipun sekarang sudah pukul lima sore. Diora menghembuskan napasnya, sedikit kelelahan dengan aktivitas tadi. Angin sore yang cukup kencang menerbangkan rambutnya yang diikat kuda. Dia berpaling, hendak berbincang dengan Ani ketika matanya malah menangkap sosok Diego. Sialnya lagi kedua matanya bertumbukan tepat waktu ketika Diego memang sedang mencari dirinya.
Diora berdecak dan segera bangkit, meraih kembali papannya sebelum akhirnya kembali meluncur di arena menjauhi Diego. Cowok itu berdiri di atas langkan, hendak turun namun ragu, akhirnya dia memilih untuk duduk di tempat Diora tadi—di sebelah Ani.
Diora tau dia tidak bisa lari begini saja dari kekesalan, mau tak mau dia harus mengungkapkannya. Tapi kenapa Diego sampai menyusulnya kemari. Ah ya untuk apa lagi kalau bukan keuntungan cowok itu semata. Sial.
Papan itu berputar dan melaju kemudian berhenti sebelum sempat menyentuh tulang kering Diego.