Diora memerhatikan Diego melalui ujung matanya. Dia melihat cowok itu yang nampak bersemangat mengetik di laptop. Wajahnya terlihat berbinar senang karena sebentar lagi dia akan melaksanakan seminar proposal, langkah awal sebelum ujian skripsi nanti.
Diora berdeham, jemarinya masih bermain di atas laptop yang dipinjam dari Diego. Cowok itu memang memiliki dua laptop, model terbaru yang sedang dipakai Diego dan yang sudah agak lama dipakai oleh Diora.
“Gue udahan nih ngerjainnya. Lo masih lama?” tanya Diora, menggeser laptop dari pangkuannya ke atas kasur Diego. Tadi, sekitar lima belas menit yang lalu dia mengetuk pintu kaca kamar Diego untuk meminjam laptop. Cowok itu malah memintanya untuk menemani di kamar sembari dia melakukan revisi.
“Masih. Kenapa?” tanya Diego tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
“Gue laper. Mau makan.”
“Mau makan apa?”
“Kwetiau goreng.”
“Ada abang gerobak yang jual keliling?”
“Ada, ya gerobak nasi goreng itu.”
“Ya udah, ntar gue beliin.”
Diora menurunkan kedua kakinya dari kasur Diego. Sebelah kakinya hampir menyentuh lengan Diego. “Wih seriusan nih? Tumben baik banget lo. Gue jadi bertanya-tanya.”
Diego mendengus, jemarinya masih mengetik di atas keyboard. “Tapi gue punya satu syarat, lo harus liatin penulisan gue, siapa tau typo atau segala macem.”
“Siap deh kalo itu mah,” kata Diora. “Lah, sekarang nih gue ceknya? Katanya belum selesai.”
“Ya gak apa-apa.” Diego kembali menyodorkan laptopnya yang kali ini diterima oleh Diora. Dia berdiri lalu merenggangkan kedua tangannya. “Sembari nunggu, mending lo ngoreksi dulu, kan. Gue mau buat kopi dulu.”
Diora mengikuti Diego dengan pandangan hingga cowok itu menghilang di balik pintu. Menghembuskan napas, Diora mulai mengoreksi hasil kerja milik Diego yang sepenuhnya tidak dia mengerti. Toh, Diego hanya memintanya mengoreksi penulisan bukan isinya. Diora lumayan bingung juga ketika membaca proposal skripsi milik Diego. Dia jadi membayangkan bagaimana jika nanti dia harus menghadapi mata kuliah skripsi, dosen pembimbing dan pembahas seperti apa yang akan dia dapatkan. Memikirkannya sejak sekarang malah membuatnya takut, hari kuliah biasa saja sudah mampu membuatnya setengah gila dengan segudang tugas yang selalu ada.
“Gimana? Banyak yang salah?”
Diora menoleh karena dia merasakan hembusan napas Diego di telinganya dan bukan hanya hembusan napas Diego namun wajah cowok itu kini ada di hadapannya. Terlalu dekat sehingga Diora bisa melihat iris mata Diego dengan jelas. Bulu mata yang panjang dengan alis yang lebat. Garis-garis halus di bawah mata dan juga pipi.
Diora mengerjap berkali-kali sebelum memundurkan wajahnya. “Mukanya lo nge-zoom banget. Gue kan kaget,” kilahnya, mengalihkan perasaan gelisahnya. “Udah lo buat kopinya?”
“Udah. Gue juga udah mesenin kwetiau buat lo,” jawab Diego sembari duduk di lantai berlapis karpet tebal di bawahnya.