Diora bukannya tidak bisa melihat dibalik sorot mata lembut milik Sarah tersimpan kekesalan padanya. Hal itu semakin terlihat ketika Diora memilah hewan laut yang sudah dipanggang itu pada Diego. Sudah bisa dikira bahwa Sarah tidak tahu jika Diego memiliki alergi terhadap udang. Sungguh heran, padahal mereka berpacaran dua tahun tapi hal krusial saja Sarah tidak mengerti. Itulah mengapa kini Sarah nampak memandanginya dengan api berbalut dinginnya senyum.
Diora memilih untuk undur diri dan memasuki rumah bersama dengan Kinar. Semenjak memasuki mobil Gilang kala itu, Kinar sudah dianggap sebagai teman baik oleh Diora. Keterdiaman cewek itu setidaknya mampu membuat Diora tenang tanpa harus berkata apapun yang membuatnya jengah.
Pukul sepuluh malam tepat ketika Diora melirik arloji di tangannya. Kinar sudah tertidur sejak setengah jam yang lalu, meninggalkan dengkur halus. Sementara Diora masih membuka matanya lebar-lebar tanpa adanya rasa kantuk. Besok mereka sudah kembali dan Diora sudah tidak sabar menantikannya. Meninggalkan segala resahnya di pulau cantik ini. Jika saja Diora tidak dalam keadaan demikian, niscaya dia sudah mengompori ketiga temannya yang belum pernah kemari sama sekali.
Diora tidak bisa tidur, hingga dia memutuskan untuk keluar. Kamar sebelah yang dihuni oleh Sarah dan temannya itu masih terdengar berisik. Diora beranjak keluar dan segera mendapati tubuhnya yang tertiup angin malam nan dingin. Dia tidak kembali untuk mengambil jaket alih-alih Diora tetap melangkah. Merasakan deru angin yang semakin menusuk sehingga dia harus memeluk tubuhnya sendiri. Merasa begitu konyol namun Diora menyukainya. Merasakan sensasi yang tak sedingin dengan khayalannya sekembalinya mereka dari sini.
Kakinya berbelok, sebelah tangannya menari di atas dedaunan yang melambai mengajaknya menari. Pasir-pasir terasa sudah menaiki sandal yang dia gunakan, sesekali dia mengibaskan sandal itu agar pasir hilang karena telapak kakinya terasa tak nyaman. Dia kembali berbelok menyusuri jalanan kecil, pijar-pijar nyala lampu tertangkap matanya, suasana tidaklah terlalu hening namun menenangkan.
Kepalanya mendongak dan mendapatkan siluet seseorang yang sedang berdiri. Bukan. Melainkan dua orang. Karena sudut pandang yang kurang jelas, Diora mendekatkan diri sembari melangkah perlahan dan tanpa suara. Nyala lampu di depannya menyulitkan mata Diora hingga dia harus menyipit untuk melihat siapa dua manusia yang memiliki tinggi hampir sama itu. Postur tubuhnya sudah menjelaskan semua. Sarah dan Diego.
Diora bisa melihat jika Sarah mengalungkan lengannya ke leher Diego dengan lembut dan Diego tidak menolak. Ya, kenapa juga dia harus menolak toh Sarah memang yang diinginkannya. Tubuhnya yang tadinya bisa Diora tatap berputar sehingga Diora hanya bisa menatap punggung Sarah. Tanpa sadar Diora menahan napasnya menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tubuhnya yang tertutup pohon dan juga dedaunan memungkinkannya tidak terlihat, tapi degup jantungnya yang semakin bertalu-talu niscaya membuat siapapun terbangun dari tidur.
Harusnya dia merasa senang. Harusnya dia merasa bahagia terlepas dari sosok Diego yang menyebalkan, alih-alih demikian bayangan senyum dan tawa Diego lah yang terngiang di kepalanya kini.
Diora terkesiap pelan dan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, kakinya hampir saja gemetar dan tidak bisa melangkah dari sana. Dengan penuh tekad, Diora berbalik, berjalan memasuki kegelapan. Menjauh dari dua sosok yang sedang... berciuman.
Air matanya hampir saja merebak jika punggung tangannya tidak cepat untuk menahan. Dadanya terasa sesak dan menyakitkan. Dinginnya angin yang menusuk kulit tak mampu menyamai kepedihan di dalam hatinya. Ingin dia berteriak dan berlari namun tak bisa. Untuk apa? Dia bertanya pada diri sendiri. Tak ada jawaban. Ini adalah hasil dari perasaannya sendiri. Manifestasi berjuta perasaan dalam dirinya akan Diego. Dia menyukai Diego. Dia menginginkan Diego. Tapi semuanya sudah berakhir sekarang.
Pasir-pasir yang terasa memenuhi sandalnya kini terasa lebih halus dan tersadarlah Diora jika dirinya sudah berjalan hingga tepian pantai yang sepi. Tak ada sinar bulan sama sekali. Hanya ada lentera di sebelah kirinya, berpendar manis menghiasi dinginnya malam. Dia memilih untuk duduk di pasir yang terasa kering ketika dia duduk. Sembari menghembuskan napas, dia menata kembali pikirannya yang berantakan. Tak ada air mata yang menetes. Bagus. Setidaknya dia tidak akan kembali ke rumah dalam keadaan mata merah nanti.
Tubuhnya hampir menjengit karena merasakan serbuan hangat dari sebuah jaket yang hendak dia lempar begitu saja namun urung. Cengiran Gilang menyapanya ketika cowok itu mengambil duduk di sebelahnya dengan botol minuman keras yang tersisa setengah.
“Apa yang lo liat? Gak ada bulan,” katanya. Tenang, meningkahi dera angin.
Diora mendengus pelan, “Lo harusnya temenin Kinar, bukan gue.”
Kini gantian Gilang yang mendengus. “Kinar bukan siapa-siapa gue. Dia cuma tetangga yang gak pernah jalan-jalan.”