Ujian Akhir Semester sudah selesai. Begitu juga dengan perjanjian yang dilakukan oleh Diora dan Diego. Dua hari selepas mereka kembali, di kafe milik Wildan, mereka mengakhiri perjanjian dengan senyum tulus dan segelas kopi panas.
Sebagai tanda terima kasih, Diego memberikan Diora kalung perak berbandul bulan dengan bintang-bintang yang menggantung di setengah tali. Sederhana namun sangat cantik karena kesederhanaan itu.
Sedangkan Diora baru bisa memberikan hadiah ke esokan harinya. Hadiah berupa scrapbook yang sudah dia rancang sendiri bermodalkan video tutorial. Tidak terlalu bagus namun setidaknya layak dipandang. Isinya berupa foto dirinya dan juga berdua dengan Diego, dengan dalih agar Diego senantiasa bermimpi tentangnya.
Dusta yang terlampau mudah dia ucapkan ketimbang denyut perasaan yang menggelegar dalam dirinya.
Setelah itu kehidupan mereka berubah. Baik Diora dan Diego tak ada lagi yang mengetuk pintu kaca ataupun saling ejek. Mereka diam.
Dari balik pintu kaca kamarnya, terkadang Diora bisa melihat sosok Sarah yang berdiri di depan rumah Diego kemudian mereka berdua pergi. Pemandangan itu terjadi beberapa kali. Diora menyesali UAS yang berakhir lebih cepat yang membuatnya kehilangan pengalih perhatian. Satu-satunya pelarian yang bisa dia lakukan adalah dengan berkumpul bersama tiga temannya. Diora yang terlebih dahulu mengajak, kalau tiga temannya menolak dengan alasan uang yang menipis maka Diora akan mentraktir. Tentu Panji—yang uangnya lebih sering menipis—tersenyum senang.
“Woi!” Wildan berseru dari mulut pintu kamar Diora yang terbuka lebar, mengagetkan adiknya yang sedang melamun. “Ngelamun doang kerjaan lo, ngarep kesurupan?”
Diora memutar bola matanya. “Rese lo! Ngapain lo masuk kamar gue?”
“Kangen aja gue sama lo.”
“Apa? Lo mau minta apa? Gak usah sok manis.”
Wildan nyengir, namun kali ini kedatangannya ke kamar Diora bukan untuk meminta apapun. “Lo udah liburan semester?”
“Belom sih. Cuma udah selesai aja UAS-nya. Kenapa?”
“Gue mau ngajak lo ke Jakarta.”
“Oo—WHAT?!! Serius lo?” Diora melompat dari kasurnya dan menghadap Wildan. “Gak usah becanda ya. Gue lagi gak ada duit buat ke sana.”
“Lo becanda sama gue, ya? Gak liat kalo gue yang bakal bayarin?”
Diora segera melompat memeluk leher Wildan erat hingga kakaknya itu merasakan sesak napas. “Iih makasih banget. Lo emang kakak yang paling baik di dunia.”
Wildan meringis sebelum menjitak kepala adiknya lalu berlalu. Sementara Diora tidak mau membalas perbuatan Wildan, alih-alih dia tersenyum senang. Dia akan berlibur, perkuliahan juga sudah usai, hanya tinggal menunggu nilai keluar dan liburan semester pun dimulai.
Keesokan paginya seperti pada akhir pekan biasanya, Diora sudah bersiap untuk lari pagi. Ponselnya teronggok terlupakan dan baru disadarinya ketika sudah berjarak cukup jauh dari rumah, terpaksa dia melanjutkan lari pagi itu tanpa adanya sayup lagu berdendang di telinganya.
“Pagi amat lo keluar,” ucap Diego setelah berhasil menyamakan langkah dengan Diora. “Gue tadi ke rumah lo, mau ngajak lari bareng.”
“Tumbenan banget lo ngajak gue. Mau ngajak balapan?” balas Diora datar. Matanya tetap terpaku ke depan.
“Gak. Cuma mau ngobrol aja.”
“Kalo... lagi lari gue gak kuat sambil ngobrol.”