Ada tiga hal yang Diora benci saat ini: pertama mata kuliah pertama hari ini adalah Lesson Plan; kedua Diora lupa untuk membawa makalah hasil kerja kelompoknya; dan ketiga dia benci menunggu Diego di trotoar tepi fakultas FKIP.
Kalau saja Wildan—Kakaknya—mengangkat panggilan darinya dan mau mengantar—bagian ini Diora sangat ragu—makalah ke FKIP maka dia tidak perlu bersusah payah menunggu Diego. Diora yakin jika ini adalah perbuatan Mama yang meminta tolong pada Diego padahal lebih baik diantarkan saja dengan ojek online yang lebih terpercaya.
Dua menit menunggu, sosok yang ditunggu datang mengendarai motor besar dan tinggi itu. Padahal jarak antara Diego menelpon tadi dan tempat di mana Diora berdiri kini tidaklah jauh, namun cowok itu mungkin saja tersesat. Dasar.
Diego membuka kaca helm lalu membuka tas dan mengayunkan makalah itu untuk memukul kepala Diora sebelum diserahkan pada sang pemilik.
“Aww!” Diora mengaduh seraya menatap tajam. “Apa-apaan, sih?”
“Lo itu yang apa-apaan. Dasar cewek barbar.”
“Lo kalo gak ikhlas gak bakal dapet pahala. Tau kan pahala itu buat masuk surga?”
Diego mendesis. “Bilang apa?”
Dengan makalah yang didekap di dada, Diora berujar, “Apa?!” Dia menjulurkan lidahnya dan berlalu dari sana meninggalkan Diego dengan segala amarah yang memuncak.
Kalau bisa rasanya Diora ingin mengenyahkan Diego dari muka bumi. Sebelum kedatangan cowok itu sebagai tetangga baru sebelah rumahnya, kehidupan Diora terasa aman dan damai. Namun, setitik langkah Diego mengacaukan semuanya. Oh tentu kekacauan itu bukan dimulai pada saat mereka menjadi tetangga namun ketika Diora melewati Fakultas Teknik dan ditabrak oleh Diego sehingga Chatime dan ponselnya rusak. Tapi Diego malah menuduh sebaliknya karena draft skripsi bab 1-3 miliknya menjadi basah dan rusak.
Cowok memang tidak mau mengaku salah.
Ah rasanya Diora harus menambah jumlah hal yang dia benci: bertetangga dengan Diego. Dan itu harus berada di daftar teratasnya. Sebenarnya keluarga Diego—orang tuanya—sangatlah ramah dan baik, sering memberi makanan tapi entah kenapa watak anaknya beringas begitu. Bahkan dua hari yang lalu saja dia dan Diego saling berebut minuman isotonik sehingga mereka diusir oleh kasir minimarket.
Dan sialnya malam nanti Tante Rita—Mama Diego namun bukan Rita Sugiarto—mengundang Diora sekeluarga untuk makan malam. Selamat datang kekejaman dunia paska Perang Dunia II.
***
“Gak bisa Dek, gue masih urus project baru. Nanti juga mau jemput Mama dulu. Mau nunggu aja apa?” jelas Wildan dari seberang sana.
Masa Diora harus menunggu Wildan menjemput, pasti masih akan lama.
“Yaah, gak bisa jemput gue dulu apa? Anter gue ke kafe lo aja deh,” lirih Diora.
Wildan menggeleng. “Gak bisa. Serius. Gue juga lagi di luar, gak di kafe. Mau gue pesenin Gojek aja nih dari hape gue?”
“Gak usah deh. Gue naek angkot aja ke butik Mama.”
“Ya udah. Lah lo kan tadi dijemput temen lo?”
Diora menghembuskan napasnya. “Iya, tapi si Panji bareng ceweknya. Ya udah, gue mau naek angkot.”