The Partner Next Door

Tia Givanka
Chapter #2

Bagian 2

Diora terus mengentak-ngentakkan kakinya ke lantai keramik itu. Sudah sekitar setengah jam dia menunggu namun sosok yang dicarinya tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Meskipun ponselnya sudah dalam keadaan semula bahkan kini lebih bagus karena dihiasi dengan soft case, namun dia masih menuntut pertanggung jawaban cowok itu. Tak akan dia biarkan cowok itu melenggang tenang sampai dia minta maaf. Bayangkan saja, Diora rela hari liburnya digunakan untuk berbuat begini.

Tapi ternyata bukan pucuk dicinta ulam pun tiba, sampai saat ini cowok itu tak kunjung ada. Apa mungkin cowok itu sedang tidak ada jam kuliah? Atau mungkin cowok itu bersembunyi karena tau jika dia akan datang? Bisa jadi sih. Dasar cowok, memang tidak bisa mengaku salah. Apa susahnya sih bilang minta maaf? Kan kaum cewek pemaaf gini—tapi tidak dengan Diora.

“Gak bisa nih gue. Harus gue cari!”

Akhirnya Diora memutuskan untuk beranjak dari tempat di mana tabrakan kemarin terjadi, dia mulai menyusuri lorong tempat cowok itu datang, dia bertemu dengan beberapa orang. Diora harus menajamkan ingatan dan juga matanya, tak jarang dia mendapatkan tatapan tidak suka karena menatap terlalu lama dan dalam.

“Chatime enak nih sambil nyari,” keluhnya. Tapi mana bisa dia memesan minuman itu, yang ada mangsa yang dia cari nanti kabur.

Setelah memutari beberapa gedung, kaki Diora terasa lelah, dia memutuskan untuk duduk di kursi kosong di sana seraya menyibakkan kausnya. Menghembuskan napas, kedua mata Diora segera melebar begitu melihat sosok yang dia cari tengah berjalan bersama dua orang cowok lainnya. Tanpa membuang waktu Diora menyusul cowok itu. Dia akan membuat cowok itu meminta maaf padanya, lihat saja.

“Woi tunggu! Eh lo, yang pake baju kotak-kotak. Bukan lo, ish... baju biru kotak-kotak yang kayak taplak meja makan!” Karena tidak adanya reaksi, Diora terpaksa berlari dan menghadang cowok itu dengan merentangkan kedua tangannya. “Woi! Lo harus tanggung jawab!”

Cowok itu—yang matanya mirip Jason Momoa—memandangnya heran. “Siapa lo?”

“Gak usah pura-pura amnesia segala. Gue hajar pake batu juga nih biar amnesia lo balik... maksud gue biar ingetan lo balik.” Diora berkacak pinggang. Kedua matanya menatap mata cowok itu tajam. “Lo udah ngerusakin hape gue dan ngebuang Chatime gue.”

Cowok itu mengernyit sebelum akhirnya dia berujar sengit. “Asal lo tau ya cewek, gara-gara minuman lo itu draft gue jadi basah, dan gue gak bisa bimbingan.”

Oh, jadi cowok ini sedang sibuk skripsi. “Harusnya lo nyadar dong kalo lo yang salah, coba pikir nih ya, kalo lo gak nabrak gue kemaren tu draft gak bakal kenapa-napa. Minuman gue gak bakal tumpah percuma gitu aja ke lantai. Tiga puluh dua ribu sama ongkir tuh harganya.”

“Kok lo jadi nyalahin gue?”

“Ya iyalah, semuanya emang salah lo. Lagian apa sih susahnya minta maaf? Gengsi?”

“Lo anak mana sih?”

“Kenapa emangnya? Mau ngajak tawuran? Ayok!”

“Tunggu sebentar. Ini ada apaan sih?” Cowok di sebelah penabrak Diora itu berujar. “Ya, Diego?”

Ooh, jadi nama cowok itu Diego. Diora manggut-manggut. “Jadi ni orang udah ngerusakin hape gue dan ngejatohin Chatime yang udah gue tunggu setengah jam!” Dia menunjuk wajah Diego lurus-lurus. “Paham?”

“Terus lo gak salah gitu karena udah ngebasahin draft gue?” Diego meninggi. “Dasar cewek!”

“Kenapa kalo gue cewek? Ada yang salah? Otak lo tuh salah!”

Perdebatan antara Diora dan Diego yang terjadi di lorong terbuka itu menarik perhatian mahasiswa yang berada di sana.

“Gue gak bakal minta maaf!” tandas Diego final. Tidak terbantahkan, kemudian dia berlalu dari sana setelah sengaja menyenggol bahu Diora keras.

Lihat selengkapnya