Diora pulang ke rumah dengan wajah ditekuk, ditambah lagi dengan fakta bahwa kakaknya kini sudah berada di rumah. Kenapa kakaknya tidak bilang kalau ada di rumah, sih? Kan Diora bisa menghemat uang ongkos, hitung-hitung bisa untuk tambahan beli Chatime.
“Kok lo gak bilang sih kalo ada di rumah?”
“Lo gak nanya,” jawab Wildan cuek. “Eh lo dicariin Mama tuh.”
“Ada apa emangnya?”
“Mama nanyain kapan lo punya pacar.”
“Rese lo ya!” Dengan kekuatan jemarinya, Diora mencubit lengan kakaknya hingga Wildan meringis. “Eh, sebelah udah ngisi ya?” tanyanya kemudian.
“Mana tau!”
“Idih ngambekan kayak cewek,” dengus Diora lalu duduk di kursi sebelah Wildan. Dia melihat pada rumah di sebelahnya yang kini di depan rumahnya sudah ada sebuah truk. “Lagi pindahan?”
“Bawel amat lo. Kan bisa keliatan sih, kalo lo kepo datengin sana.”
Kepala Diora masih memerhatikan, melihat apa saja yang bisa terlihat. Tapi sepertinya tidak ada apa-apa. Atau jangan-jangan hanya sekadar mobil truk yang parkir di sana? Tapi keadaan rumah itu sudah jauh lebih bersih, kan kalau benar ada tetangga baru Diora jadi tidak merasa terlalu sepi.
Sepuluh menit kemudian rumah di sebelah itu mulai menunjukkan aktivitas, ada beberapa laki-laki keluar dari sana, kemudian tak lama sebuah mobil truk berukuran lebih besar datang. Kali ini para laki-laki itu mulai mengangkut barang dari truk yang lebih besar.
“Kamu habis dari mana, Ra?”
“Eh, Mama. Ngagetin aja,” ujar Diora. “Aku habis dari kampus.”
“Tumbenan kamu ke kampus. Kan gak ada jam.” Mama menggeser tubuh Diora agar dia bisa duduk di sebelah anak perempuannya.
“Abis kerja kelompok, Ma.”
“Kerja kelompok apa kerja kelompok?” sahut Wildan dengan nada mengejeknya yang membuat Diora hampir melayangkan meja di sebelahnya.