Sembari mengikat tali sepatu, Diora menyenandungkan lagu dengan kedua mata mengamati rumah sebelah yang sunyi. Katanya sudah pindah tapi mengapa malah terlihat seperti biasanya. Sunyi. Padahal sudah dua hari ini pindah, Mama juga bilang kalau anaknya Tante Rita berkuliah di kampus yang sama dengannya, tapi sayangnya anak Tante Rita itu cowok.
Hari ini hari Sabtu. Hari libur. Seperti biasa, seminggu sekali Diora pasti lari pagi. Jogging. Hitung-hitung buat badan capek terus tiduran lagi, itu kalo Mama dan Wildan tidak mengganggu. Hari libur memang hari santainya, mandi sehari sekali, menonton televisi, bermain tic-tac-toe, menyelesaikan puzzle dan minum cokelat panas.
Langkah kaki Diora melaju perlahan setelah melakukan pemanasan. Dihembuskannya napas lalu ditariknya kuat-kuat dan kembali dihembuskan. Lari pagi memang begitu menyenangkan, udaranya masih sejuk dan segar, tidak seperti ketika siang. Setelah berlari pagi, Diora biasa mengistirahatkan kedua kakinya di sebuah minimarket 24 jam.
Diora membuka mesin pendingin, berusaha mencapai minuman isotonik yang berada di urutan keempat, tangannya sudah terjulur tapi ada tangan lain yang lebih dulu mengambil.
“Eh itu Pocari punya gue! Balikkin!” decak Diora yang kini sudah berkacak pinggang. “Lah elo ternyata, si tersangka pengrusak hape dan penumpah Chatime gue.”
“Oh ternyata elo si cewek bar-bar.” Diego menaikkan satu alisnya yang bercodet.
“Dasar lo, udah gak bertanggung jawab sekarang pake ngata-ngatain gue lagi. Mau cari masalah?”
“Dari awal lo yang cari masalah. Minggir lo, gue mau bayar.”
“Eh gak!” Sergah Diora menahan siku Diego. “Gue yang ngeliat duluan.”
“Tapi gue yang ngambil duluan.”
“Gue yang buka tutup freezer-nya.”
“Gue yang megang duluan. Oh jangan-jangan lo cuma modus pegang-pegang gue, kan?”
Diora buru-buru menyentak tangannya. Sial. “Najis. Lo gak usah GR jadi orang.”
Diego mendesis tapi kakinya melangkah dengan cepat menuju kasir, memaksa kasir itu untuk melakukan scanning barcode. Lalu tanpa meminta kembalian dia segera berlari keluar dari minimarket. Diora yang terkejut itu tak bisa berbuat banyak apalagi dengan kepalanya yang terantuk pintu kaca akibat tidak dia tahan.
Diego benar-benar cari masalah dengannya. Lihat saja, akan dia balas perbuatan Diego tadi. Lihat saja!
“Eh Mbak, kembalian orang tadi ada berapa?” tanya Diora ketus tanpa sadar.
“Masih ada sekitar tiga belas ribu, Mbak.”
Sambil menenteng kresek berisi minuman isotonik dan juga kacang kulit, Juni berjalan pelan dengan mulut sibuk mengunyah kacang. Huh, Diego itu bodoh atau gimana, meninggalkan uang kembalian seperti orang kaya raya, padahal uangnya kan bisa dipakai beli makanan lagi. Tapi tak apa, Juni yang senang dapat gratis.
“Anjrit! Itu orang ngapain ada di perumahan gue?” desis Diora tajam ketika melihat punggung Diego. “Wah gak bener nih, itu anak ternyata mata-matain gue. Harus gue laporin sama security.”
Juni akhirnya berbalik menuju pos satpam perumahannya. Di sana, dengan berapi-api dia menyampaikan jika ada penguntit berbahaya. Iya dong, Diego berpotensi merusak fasilitas yang ada di perumahan itu. Biar saja Diego tau rasa. Kalau bisa sekalian dibuatkan spanduk berbahaya dengan wajah Diego besar-besar.
***
Diora tengah melanjutkan kegiatannya menonton drama ketika mendengar suara berisik dari kamar di sebelahnya. Dari sini, Diora tidak bisa dengan jelas melihat isi kamar yang tertutup rapat. Tapi ada suara-suara yang begitu berisik, kemudian disusul dengan musik rock yang diputar dengan pengeras suara. Diora mendesis marah, bisa-bisanya mengganggu ketenangan hari liburnya.
“Woi kecilin!” teriaknya setelah membuka pintu geser. “Norak lo!”