The Partner Next Door

Tia Givanka
Chapter #6

Bagian 6

“Ngape muka lu cemberut gitu?”

Sembari mengenakan helm, Diora mendengus, “Gue ceritain di kampus ntar. Ayo jalan.”

“Gue gak pamitan dulu, nih?” tanya Panji, spion motornya sudah memantulkan sosok Diora yang duduk di boncengan. “Raaa.”

“Gak usah, Abang gue belom bangun, Nyokap gue lagi ke tetangga sebelah.”

“Ha? Eh udah ada yang ngisi aja. Kapan?”

“Ah tau ah. Gak usah bahas tetangga gue. Mending jalan aja.”

“Lah lu galak amat, udah ditebengin juga.”

“Lo mau gue gaplok pake helm?” ancam Diora, kenapa pula Panji ini jadi banyak tanya. Bukannya langsung melajukan motornya saja. “Ntar keburu telat.”

Panji yang akhirnya memilih mengalah dan kembali menyalakan motor bebeknya. “Masih ada dua puluh lima menit, dari sini ke kampus cuma tujuh menit, Non. Lo lagi PMS ya?”

“Lo banyak bacot ya, Nji. Gue doain juga nih ntar speaking lo yang maju.”

Sayangnya, ucapan Diora itu malah berbalik ke arahnya sendiri. Pada saat mata kuliah Advanced Speaking, dosen yang mengajar menunjuk Diora untuk menjelaskan materi kurva yang sudah dia buat. Materinya memang sudah Diora buat dan juga sudah dia hapalkan, meskipun yakin akan salah, tapi dia tidak menyangkan bahwa sesampainya di muka kelas semuanya mendadak hilang dan menguap. Bagaikan baru terkena batu dari ketinggian tiga ratus meter, kepalanya menjadi pusing tujuh keliling, tak ada ingatan yang tersisa dia amnesia. Sial. Ini pasti karena mood-nya sejak pagi tidak bagus. Wajar saja mengingat kejadian makan malam itu.

Setelah menjelaskan beberapa kalimat, dosen tersebut menghentikan Diora untuk mengoreksi, diselingi dengan candaan tapi tetap saja Diora jadi malu. Dia mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, kalau sampai salah dalam struktur bahasa bisa membuatnya malu sampai nanti. Yeah, harus diakui sih, Diora tidak terlalu pandai Bahasa Inggris, dia saja lulusan SMK jurusan Teknik Komputer dan Jaringan. Dan ketika lulus, dia kebingungan memilih, malas untuk mengambil komputer membuatnya beralih pada pendidikan. Sempat bingung akhirnya dia menjatuhkan pilihan pertama yaitu Pendidikan Bahasa Inggris dan setelah SBMPTN, dia berhasil masuk. Setengah senang dan setengah sedih. Tapi sudah terlanjur, mau apa lagi, beruntungnya dia memiliki teman satu frekuensi dengannya.

Selepas mata kuliah pertama, Ana mengajak yang lain untuk pergi ke Teknik karena ingin meminjamkan almamater pada temannya yang akan seminar proposal. Tadinya Diora menolak karena malas bertemu dengan Diego, tapi dia berpikir ulang, mengingat Diego adalah mahasiswa akhir, jadi kemungkinan bertemu sangat tipis.

Kepala Diora rasanya ingin pecah saat itu juga, kenapa sih adegan semalam masih membuat kepalanya berdenyut nyeri. Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul sebelas, masih ada dua jam setengah sebelum mata kuliah Advanced Structure dimulai. Diora bersama dengan Panji dan Rahman kini tengah duduk di bangku panjang di bawah pohon di depan gedung Teknik Mesin. Kedua mata Diora tertuju pada ujung sepatunya, memikirkan Diego dengan segala keributan yang sudah terjadi.

“Woi, lo gak tau kalo bangku ini buat kating? Maba kan lo? Woi budeg lo?!”

“Bacot anjir lo! Eh...” Diora nyengir kaku, di sebelahnya sudah ada dua orang cowok berambut gondrong tengah memandangnya lurus-lurus. “Eh apa tadi? Gue gak denger.”

“Bangku ini buat kating. Jurusan apa lo?”

Kedua alis Diora menyatu, dia menoleh dan tidak melihat adanya Panji dan Rahman. Sial, dia ditinggalkan sendiri di sini. Haruskah dia berbohong? Oh ya tentu saja, menurut rumor, mahasiswa teknik ini tak ada yang ramah. Bisa-bisa nanti dia tamat. Jangan dulu, Diora masih ingin merasakan wisuda. Untung saja dia memakai jins dan kaus, tidak kentara bahwa dia anak FKIP.

“Oh anu, gue jurusan ... Teknik Administrasi.”

Duh goblok lo, Ra!

“Ha? Lo pasti bukan anak sini. Anak mana lo?”

Duileh, mana dua orang itu serem-serem banget mukanya, ya Allah tolooooong, batin Diora menjerit.

Diora menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu. “Gini Bang, jadi gue itu lagi nungguin temen. Gue gak kuliah di sini. Beneran.” Di sini maksudnya di Teknik.

“Bohong lo. Sekarang push up!”

“Haaa?!” Diora membelalakkan matanya. “Eh jangan dong. Kan gue gak tau jadi wajar, gak ada tulisannya juga di sini.”

Diora jadi mati kutu. Dia bingung harus bagaimana, lari bisa saja, tapi dia sedang malas kelelahan. Mana ketiga temannya mendadak hilang begitu saja. Dua cowok gondrong di hadapannya ini begitu mengintimidasi, kenapa sih senioritas di Teknik begitu terasa. Untung saja dia tidak masuk Teknik, bisa-bisa darah tinggi dia.

“Ada masalah apa lo bedua sama ni cewek bar-bar?”

Diora menoleh, melihat Diego yang sedang merangkulnya layaknya kawan lama. Terlalu asyik berpikir membuat Diora tidak sadar jika dua cowok gondrong di hadapannya itu sudah pergi.

“Mau sampe kapan lo ngeliatin gue? Sampe gue imamin lo?”

“Idih najis!” Diora segera menarik diri. “Gak usah kepedean cowok pengrusak.”

Diego mendecih. “Ngapain lo di sini? Nyariin gue?”

“Pala lo botak gue nyariin lo. Amit-amit.”

“Udahlah gak usah malu. Sama gue ini. Ga cukup apa kita tetanggaan?”

Lihat selengkapnya