Dari dalam kamarnya, Diora bisa melihat pantulan sosok Diego dari balik tirai. Bayangan cowok itu terlihat mondar-mandir. Diora jadi kesal sendiri hingga akhirnya dia memilih untuk menutup tirai. Tapi malah dia mendengar suara geraman dari kamar sebelah.
“Wah, itu orang udah gila kali ya. Kesurupan aing maung apa malem-malem gini,” desis Diora seraya bangkit dari tidurnya, dia mengintip dari balik tirai dan melihat pintu kaca kamar Diego terbuka.
Lalu kembali terdengar geraman dan akhirnya sosok Diego keluar dengan barang-barang yang diletakkan di balkon kamar. Cowok itu masuk kembali lalu keluar lagi dan memungut barang-barang itu dan kembali masuk. Tapi tak berselang lama dia keluar lagi dan meletakkan barang-barang tadi di balkon. Dan begitu seterusnya hingga Diora muak.
“Lo ngapain sih bego banget?” tanya Diora tajam.
Diego yang sedang memegang kardus itu mendongak. “Bukan urusan lo.”
“Lo itu ganggu orang tidur. Gue laporin ke Pak RT juga nih biar lo diusir.”
Tak dingana, tanggapan Diego hanya diam lalu kembali memasukkan barang ke kamar sebelum akhirnya menutup pintu kaca. Diora termangu kaget. Belum lagi ketika melihat lampu kamar Diego yang kini mati.
Tapi heran juga sih melihat sikap Diego barusan, sorot mata cowok itu yang biasanya tajam kini nampak lesu tak berselera, bahkan bisa dikatakan sedih. Cowok itu juga tak mempedulikan sosok Diora padahal tadi Diora sudah mengira bakal ada adu mulut hingga membangunkan satu RT. Yah, ambil untungnya saja sih, jadi Diora bisa menikmati malam dingin ini dengan damai. Benar bukan?
Sayangnya, malam keesokan harinya Diora malah mendengar Diego yang bernyanyi tidak jelas diiringi dengan alunan gitar yang cowok itu mainkan sendiri. Benar-benar Diora tidak mengerti, dia mengintip dari dalam kamar, melihat sosok Diego. Cowok itu bernyanyi dengan raut wajah terluka, sangat pilu dan menyedihkan.
“Lo udah mulai jadi secret admirer?”
Tubuh Diora terlonjak kaget ketika mendengar suara Wildan di telinganya. “Bukan kali, gue cuma kasian aja sama anak sebelah. Lo liat tuh, kemaren dia ngangkut barang sekarang ngangkut nyawa orang karena suara serek sumbangnya dia.”
Wildan menaikkan satu alisnya dan ikut mengintip. “Ah tau ini gue, pasti dia mau cari perhatian lo.”
“Mau gue colok ya mata lo?”
“Becanda. Tapi gue rasa dia lagi patah hati.”
“Masa?” Diora tidak percaya begitu saja. “Patah hati sama siapa?”
“Mana gue tau dek. Lo mending hibur dia kek, lo kan pinter tari ulet.”
Diora sontak saja menjitak kepala Wildan. “Lo bilangin dia kek jangan ganggu orang nugas. Gue masih ada kerjaan tau.”