“Idih ngapain lo ke sini? Stalker ya lo? Ngaku deh!”
“Kalo bukan karena Nyokap, gue juga ogah disuruh ke sini. Apalagi ngeliat lo, muntah rasanya.”
Diora mencebik, baru saja hendak membalas, suara dehaman dari mulut Bagas membuatnya seketika sadar jika cowok itu masih di sini. Dan Bagas melihat betapa sengitnya suara Diora tadi. Akhirnya Diora mendesah berat.
“Udah deh, gue lagi males ribut sama lo,” sahut Diora kemudian.
“Kenapa?” Diego bersedekap. “karena ada pacar lo?”
Diora segera mendelik marah pada Diego yang asal ucap itu. Memang, mulut Diego harus dijahit saat ini juga karena terlalu turah. Sial. Diora jadi tidak tau harus menjawab apa sekarang.
“We were,” kata Bagas singkat, tanpa lupa mengulas senyum lebarnya.
“Ha? Oh udah putus. Sori deh gue gak tau.” Diego mengangkat bahunya tidak peduli dengan wajah marah Diora di sana. Lalu dia melengos.
“Anu, Kak, maaf ya. Tetangga baru gue itu gak waras jadi gak usah ditanggapin.”
“Gak apa-apa. Tadinya saya malah kira kamu dekat dengan dia, Ra.”
“Ha? Gue deket sama dia? Mana mungkin, Kak. Ibarat kata nih, gue Tom terus dia si curut Jerry.”
“Berantem terus memangnya?”
Diora memutar bola matanya. “Gak usah pake ditanya, Kak. Pokoknya setiap ketemu pasti gue adu mulut sama dia, untung aja gak nyampe baku hantam,” katanya menggebu. “Gila kan, Kak?”
Bagas tertawa renyah, seperti keripik kentang, membuat Diora seakan bernostalgia. “Tapi jangan keseringan, Ra. Mau gimanapun dia udah jadi tetangga kamu, kan?”
“Jujur ya Kak, gue sih sebenernya fine-fine aja sama ortunya tapi dia itu lho yang buat naik darah. Stress.”
“Astaga, kamu masih lucu ya kalo marah. Gak ada yang berubah.” Jemari Bagas hendak mengusap puncak kepala Diora namun urung. “Saya pesenin Chatime kesukaan kamu ya? Biar gak panas banget.”
“Eh, gak usah, Kak. Gue gak bawa duit soalnya, uang jajan hari ini juga udah abis. Gue juga gak mau dibeliin,” ucap Diora merasa tidak enak, posisinya pun sudah tidak enak. Dia sudah mulai merasa nyaman di samping Bagas.
“Gak apa-apa. Saya juga beli, kok. Ini hitung-hitung teman menunggu Mama sama Ibu.”
“Eh ya udah deh kalo gitu.”
Sembari menunggu Chatime datang, Diora dan Bagas kembali bertukar cerita. Kebanyakan memang Diora yang bercerita karena cewek itu terlampau semangat apalagi ketika keluh kesah kuliah tercurah. Sudah deh, Diora tidak akan istirahat dua hari dua malam. Tanpa peduli dengan sosok Diego yang memandang ke arahnya, Diora kembali berceloteh dan sesekali tertawa. Pesanan mereka datang, Bagas setengah berlari untuk mengambil pesanan itu lalu kembali, wajah cowok itu bak sudah lama menanti cerita kehidupan Diora. Tanpa sadar mereka mengulang kebiasaan mereka ketika berpacaran, duduk di bangku beton di Fakultas Teknik, bercerita berjam-jam atau ketika menaiki motor.
Tidak tau berapa lama waktu yang mereka habiskan, tibalah akhirnya ketika Mama menghela Ibu Bagas dan juga Tante Rita keluar, pertanda jika urusan mereka sudah selesai. Tanpa sadar Diora menghela napasnya berat. Dia melihat Bagas berpamitan dengan Mama.
“Ra, saya pulang ya.”
Diora mengangguk melepas Bagas pulang. Senyumnya masih terkembang namun ketika melihat Diego wajahnya berubah kecut.
“Ra ayo pulang sama Tante,” ajak Tante Rita ditambah isyarat tangan.
“Gak usah, Tan. Saya di sini aja nemenin Mama.”
“Ck! Lagian Mama ngapain sih ngajak dia? Yang ada nih jok mobil abis digigitin sama dia,” dengus Diego.