Sebenarnya Diora malas untuk memasuki mata kuliah Advanced Speaking, tapi dia sudah kadung janji pada Ani untuk datang. Ada penyebabnya mengapa dia malas, itu karena dosen mata kuliah tersebut—Pak Rino—itu dosen aneh. Menyuruh setiap mahasiswa untuk menghafalkan narasi tentang suatu topik, kegemaran ataupun rencana untuk masa mendatang. Terlihat wajar, tapi aneh saja rasanya jika dosen itu memberi poin besar pada mahasiswa yang bercerita dengan lawakan. Uuh menyebalkan, tapi karena itu juga minggu lalu Diora bisa mendapatkan lima poin karena dia banyak melawak akibat melihat wajah Rahman. Poin itu adalah poin paling tinggi. Super sekali. Dan juga dosen itu moody-an.
Namun, selain Diora, tiga temannya juga tidak begitu menyukai Pak Rino, bahkan Panji selalu bilang Sir Badak alias Sir Rhino. Kurang ajar memang tapi nyatanya bisa membuat Diora tertawa.
“Lho Ma, Bang Wildan mana?” Diora yang tadi sudah keluar rumah terpaksa kembali masuk karena tidak melihat mobil Wildan.
“Lah, Bang Wildan kan udah pergi pagi tadi? Kamu gak tau?”
“HAA?!” Diora berseru hingga Mama menutup kedua telinga. “Kok gitu? Aku ditinggal gitu jadinya? Ish, kan. Tau gini dari tadi aku pesen Gojek. Mana udah siang.”
“Kebiasaan kamu kalo berangkat santai-santai, telat kan.” Mama mencubit pinggang Diora. “Udah sana cepet, liat tuh udah jam berapa.”
Diora merutuk karena tak ada satupun driver di dekat sana, kalau adapun langsung ditolak. Aduh, alamat dia harus menaiki angkutan umum kalau begini, naik taksi online ongkosnya pasti mahal. Rutukannya tanpa sadar membuat dia kini sudah sampai di gerbang rumah, klakson nyaring terdengar begitu mengejutkan hingga Diora hampir melempar ponselnya.
“Lo emang punya kebiasaan maen hape sambil jalan ya?” ketus Diego membuka kaca helm. “Minggir!”
“Idih, gak sopan. Lo yang mau nabrak kok gue yang dimarahin.”
“Lho Diora belum berangkat? Gak dapet ojek ya?”
Diora melirik Tante Rita melalui bahu Diego. “Eh belum, Tan.”
“Udah jam berapa ini? Kamu berangkat sama Diego aja ya biar gak telat.”
“Gak, Bun!”
“Gak usah, Tan!”
Tante Rita mengibaskan tangannya di udara lalu dengan cepat dia berbalik dan berlari. Kemudian dalam waktu singkat, Tante Rita sudah kembali dengan helm yang segera dipakaikan di kepala Diora. Diora tentu saja tak bisa berkata-kata.
“Cepet naik, Ra. Diego, pelan-pelan bawa motornya,” ucap Tante Rita.
“Bun, aku gak mau. Ngapai—“
“Diego!”
Diego mendengus malas lalu berdecak. “Buru!”
Diora ingin menolak tapi kepalanya malah mendadak linglung dan tidak tau harus melakukan apa jadi dia membiarkan saja Tante Rita menuntunnya agar duduk di boncengan Diego. Aplikasi angkutan online di ponselnya masih belum menemukan driver sampai akhirnya aplikasi itu ditutup oleh Diora.
Diego sudah melajukan kendaraan itu, motor sport yang membuat Diora bingung harus berpegangan di mana. Untung saja Diego mengendarainya tidak kencang. Tapi cowok itu hanya diam saja tak berbicara sedikitpun. Ah iya, kenapa sih tadi diam saja bukannya menolak, nanti yang ada Diego mengira jika dia suka dan berharap. Padahal tidak sama sekali.
“Lo gak mau turun?”
Diora tersentak, motor Diego sudah berhenti di depan fakultas. Buru-buru Diora turun hendak membuka helm ketika deru motor Diego meraung membelah pagi. Sial, Diego meninggalkannya begitu saja dengan helm ini.