The Partner Next Door

Tia Givanka
Chapter #12

Bagian 12

Diora berdecak sebal pagi itu karena ingatan tubuh Diego kemarin masih membekas hingga semalam dia jadi membayangkan sosok Diego. Lagian kenapa juga sih cowok itu hanya mengenakan celana santai dan bertelanjang dada. Dih.

Sembari mengikat tali sepatu, Diora setengah bersungut-sungut. Kemudian dia melakukan pemanasan sebelum akhirnya berlari pelan. Kedua telinganya sudah tersumbat dengan earphone agar tidak terganggu dengan suara bising lainnya. Tanpa terasa sudah akhir pekan lagi, kurang lebih sudah dua minggu Diego menjadi tetangga paling menyebalkan dalam hidupnya. Beneran deh, ingin rasanya Diora mengadu dengan RT untuk mengusir Diego tapi tidak mungkin.

Setelah merasa lelah, Diora mengistirahatkan kedua kakinya, tadinya dia berniat mendatangi minimarket namun urung. Dilanjutkannya langkah menuju rumah. Dalam jarak lima puluh meter di depannya, Diora melihat ada tiga ekor angsa yang begitu berisik. Kalau sudah begini alarm siaga Diora aktif, memperingati dirinya agar berhati-hati dan tidak memancing angsa itu untuk mengejar. Lumayan kalau sampai dikejar angsa apalagi terkena paruh besar itu.

Langkahnya sudah semakin mendekati angsa, ketiga angsa itu tidak begitu beringas hingga Diora menghembuskan napas lega. Namun satu suara itu membuyarkan semuanya, sosok yang sengaja berteriak dan mendekati angsa itu segera lari.

“Bajingan!” seru Diora berang ketika Diego dengan sengaja memancing angsa itu untuk mengejar. “Woi, Diegooooo!”

Baik Diego dan Diora saling mengejar napas masing-masing, kelelahan akibat dikejar oleh angsa. Sungguh pengalaman yang menyebalkan sekali. Diora tidak menyangka jika angsa itu berlari cukup kencang dan mengejar cukup jauh. Ini semua karena Diego.

“Lo tolol atau gimana, sih? Mancing-mancing keributan sama binatang juga,” kata Diora tersengal.

Diego yang masih meraup udara sebanyak-banyaknya itu berdecak. “Gue cuma penasaran.”

“Goblok! Beliin gue minum.”

“Gue gak bawa duit.”

Anjir-lah, haus nih gue. Kalo nyampe dehidrasi terus pingsan gimana? Gue gak mau digendong sama lo!”

“Pikiran lo gak usah kejauhan!” Diego menyentil kening Diora. “Rumah udah deket, tinggal minum di rumah terus selesai.”

“Dasar lo emang gak mau tanggung jawab!”

Diego nyengir kuda, dia bangkit lalu sebelah tangan diulurkan pada Diora. Membantu cewek itu untuk bangun. “Gue capek, mau mandi.”

“Bukan lo doang kali. Gue juga.”

“Sori deh,” ucap Diego ketika Diora sudah berjalan di sebelahnya.

Diora hampir saja menjerit sangking kagetnya mendengar Diego mengucapkan kata sori. Ya iyalah, secara selama hampir dua minggu bertetanggaan, belum pernah dia dengar Diego berkata sori atau maaf. Cowok itu egonya tinggi sekali.

Beberapa meter sebelum sampai rumah, Diora melihat mobil Bagas di depan rumah. Dia menghentikan langkahnya, meragu ingin memasuki rumah atau bahkan takut jika bertemu dengan Bagas. Dia takut jika nanti detak jantungnya tidak normal, padahal baru saja dia bisa menormalkan detak jantungnya akibat berlari.

Diego yang melihat keterdiaman Diora itu pun berhenti dan menatap wajah Diora. “Lo kenapa?”

“Ha? Gak apa-apa. Gue kayaknya mau jalan-jalan lagi deh,” kilah Diora, matanya masih menatap mobil Bagas. Ada urusan apa pula cowok itu pagi-pagi begini datang ke rumah.

“Lo kecapekan. Mending balik aja deh.”

“Gak.” Diora sontak menggeleng, membuat Diego mengernyit dalam. “Ah pokokonya gitu deh.”

Seakan paham masalah Diora, Diego menggamit satu lengan cewek itu, menuntunnya ke rumah. Diora berontak namun Diego membentak hingga mau tak mau bibir cewek itu kini manyun. Dibawanya Diora ke kamarnya di lantai dua. Tak ada tanda-tanda Tante Rita maupun Om Chandra di lantai satu tadi.

“Lo lewat sini aja, lebih aman, kan?” Diego membuka pintu kacanya hingga terpampang kini balkon kamar Diora. “Sana.”

Lihat selengkapnya