Hati-hati, mereka ada di sekelilingmu. Sosok makhluk penghisap darah. Ya, mereka adalah vampire. Musuh manusia.
Kebringasan vampire danbpeperangan manusia melawan kaum itu membuat populasi manusia semakin berkurang, begitu juga sebaliknya.
Untuk menghindari kepunahan manusia dan vampire. Dua kubu tersebut membuat perjanjian.
Tumbal. Setiap keluarga yang terpilih harus menumbalkan satu anaknya untuk kaum vampire (sebagai makanan). Sebagai gantinya, mereka akan melindungi manusia dari clone, vampire yang hilang kendali atas diri mereka.
Awalnya para petinggi tidak setuju akan hal ini, namun untuk perdamaian, mereka harus mengorbankan sesuatu, termasuk anak mereka.
***
Reda. Seharian ini hujan mengguyur kota. Tak banyak yang dilakukan orang-orang di luar karena ini adalah hari libur. Mereka lebih memilih menghabiskan waktu di dalam rumah.
Greisy, gadis berusia tujuh belas tahun itu mengintip di balik jendela. Dia melihat dua orang berpakaian hitam berdiri di teras rumahnya. Salah seorang dari lelaki itu memegang amplop cokelat yang masih tersegel. Entah mengapa Greisy merasa mempunyai firasat buruk.
Gadis itu sontak mengangkat bahu karena terkejut mendengar bel rumahnya berbunyi. Greisy mundur dan masuk ke kamar seketika. Takut melihat kedua orang itu, dia memilih mengintip dari pintu kamar.
"Silakan masuk," kata Mama Greisy mempersilakan.
Kedua lelaki itu masuk sembari memperhatikan keadaan rumah, kemudian duduk di sofa setelah Papa Greisy menyuruhnya.
Tanpa basa-basi dan sepatah kata pun, lelaki yang memegang amplop cokelat itu meletakkan benda tersebut di atas meja. Pasangan suami istri itu saling pandang. Wajah mereka tegang ketika melihat stempel yang ada di amplop.
Lemas. Bahu wanita itu merosot, seakan energinya terkuras habis tanpa tersisa. Dia menggeleng sembari menatap suaminya dengan air mata menggenang di pelupuk mata.
Di tempatnya, Greisy melihat Papa dan Mama berpelukan--menangis terisak. Firasat gadis itu mengatakan, itu adalah surat perintah dari petinggi.
"Kak?"
Greisy menoleh ke belakang lalu cepat-cepat menutup pintu kamar. Sang adik baru saja bangun, dia tidak mau melihat adiknya ketakutan karena melihat kedua orang bepakaian hitam-hitam yang ada di luar.
Greisy menempelkan telunjuknya pada bibir sang adik. "Grace, kembalilah tidur."
Grace menggeleng, dia penasaran apa yang dilihat sang kakak.
"Siapa mereka?"
"Bukan siapa-siapa, naiklah ke kasurmu!" Greisy mendorong tubuh adiknya menuju ranjang. Kamar mereka terpisah, tapi entah kenapa malam ini Grace ingin tidur ditemani sang kakak.
Di ruang tamu ... dengan perlahan Papa membuka amplop itu untuk menyakinkan isinya, semoga firasatnya salah. Rahang Papa mengeras. Kerongkongannya seketika mengering. Air mata pun melesat ke luar. "Kenapa kalian tega sekali melakukan ini pada kami?!"
"Maaf Tuan, kami hanya menjalani tugas."
Mama terisak sembari menutup mulut. Takut kedua anaknya terbangun, dia tidak ingin menyampaikan berita ini pada mereka.
Mama memeluk Papa kembali dengan suara serak dia berkata, "Aku tidak ingin pisah dengan anakku."
Papa mengusap rambut panjang Mama. Berusaha menenangkan meski hatinya juga terluka.
"Tugas kami sudah selesai mengatarkan surat itu. Kami berdua undur diri." Kedua lelaki itu bangkit. "Saya harap Anda bisa mengkonfirmasikan sesegera mungkin pada petinggi."