Greisy dan Grace baru saja pulang dari sekolah. Kedua gadis itu memberi salam pada orang yang baru saja menyambutnya di depan pintu.
"Bagaimana sekolahnya?" tanya Mama mengusap kepala Grace, sedangkan Greisy sudah duduk di sofa sambil mengambil gorengan yang masih panas di atas meja. "Greisy, cuci tangan dulu!"
Gadis itu meletakkan kembali gorengan itu dan ke belakang untuk mencuci tangan.
"Ma, tadi siapa yang datang?" tanya Grace. Tadi dia berpapasan dengan seseorang di depan pintu pagar.
"Bu-bukan siapa-siapa," jawab Mama gugup.
Greisy berhenti dan menoleh ke belakang, dia merasa orang itu suruhan dari petinggi. Bisa saja mereka membawa adiknya sesegera mungkin.
"Eh, apa kalian sudah makan? Hari ini Mama membuat makanan yang enak, loh. Greisy, Grace, ayo ganti baju dulu." Mama mencoba mengalihkan perhatian kedua anaknya.
"Baik, Ma," kata Grace dengan patuhnya.
Grace menuju kamarnya, sedangkan Greisy mengikuti langkah Mama dari belakang, menuju ruang makan.
"Greisy, ada apa? Sana ganti baju dulu."
"Ma ... apa mereka akan mebawa Grace?"
Gerakan Mama tertahan--tangannya tiba-tiba lemas--meletakkan gelas di tangan ke tempat semula, tadinya dia akan menuangkan jus jeruk itu ke dalam gelas.
"Semalam, aku mendengar pembicaran kalian." Suara Greisy bergetar. Dia masih berusaha menahan dirinya untuk tetap tegar.
Mama melipat bibir. Pandangannya menatap ke bawah. Air matanya merembes begitu saja--memeluk anak sulungnya dengan erat. Mereka berdua meraung dalam diam.
"Ma ...." Greisy melepas pelukan. "Biar aku saja yang menggantikan Grace."
"Tidak!"
Mama dan Greisy serempak menoleh ke belakang. Terkejut melihat Papa sudah ada di rumah jam segini. Lebih cepat pulang dari biasanya.
"Papa tidak akan membiarkan di antara kalian berdua pergi meninggalkan rumah ini."
"Tapi, Pa--"
"Papa akan bicara pada petinggi." Papa memotong ucapan sang anak.
"Papa sudah pulang?" Grace sudah selesai berganti pakaian kemudian keningnya mengernyit heran ketika melihat Mama dan kakaknya. "Mama, Kak Greisy kenapa nangis?"
Mama dan Greisy cepat-cepat mengelap air matanya. Greisy memalingkan wajah sedikit sembari mengebuskan napas pelan, dadanya masih terasa sesak ketika melihat wajah polos adiknya.
"Tidak. Mama tidak menagis, mata Mama kelilipan."
"Aku juga!" seru Greisy cepat.
Meski demikian, Grace tidak percaya begitu saja. Semenjak tadi pagi mereka bersikap aneh. Apa mereka berdua menyembunyikan sesuatu dariku?
Sedangkan di tempat lain. Seorang pemuda berdiri di bawah langit kelam, diterangi lampu taman yang berjejer di setiap pagar, jumlahnya ... entahlah, terlalu banyak hingga dia pun tak bisa menghitung berapa jumlahnya.
Suara jangkrik mengiringi malam yang sepi. Dia pun mebalikkan badan, menatap rumahnya yang mewah dari jauh. Kepalanya mendongak menatap kamarnya yang terlihat suram setiap harinya, begitu juga dengan kehidupannya. Terlahir dari rahim seorang manusia membuatnya semakin menyedihkan.