Sajak Derai Ombak

Bernika Irnadianis Ifada
Chapter #2

Titik Awal

Titik awalku dari sini, pertemuan yang sesungguhnya dan terasa begitu nyata.

***

Milan, 28 Oktober 2015.

Dari sini, aku akan mengingat.

Dalam sunyiku, terdapat sesuatu yang lebih bermakna. Kata indah yang dapat dirangkai hanya bisa mengisyaratkan lewat kebisingan cinta. Ini pertemuanku. Pertemuan yang tidak pernah terduga, secara tiba-tiba dan terasa begitu nyata. Dia Devan, yang nantinya akan menjadi sesuatu di dalam kehidupanku.

__Aileen.

Semuanya telah usai. Kini, aku akan memulai hidup baruku di Negara milik orang lain. Mencari jenjang kehidupanku yang lebih tinggi. Aku akan menjadi seorang pribadiku sendiri yang ingin mewujudkan impianku dimasa depan. Menemukan serpihan hati yang lainnya agar menjadi satu. Menemukan apa arti kata cinta yang sebenarnya.

Aku berjalan dengan kedua tanganku yang sengajaku masukkan disaku sisi long coat berwarna merah darah yang dipadukan dengan t-shirt putih. Berjalan pelan sambil menyeberangi di jalanan zebra cross. Suasananya sangat ramai dan udara di sini pun begitu dingin. Aku menengokkan kepalaku ke arah kanan kemudian ke arah kiri, guna melihat sesuatu yang lebih baru. Banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang di tempat ini.

Langkahku terhenti lalu melihat sebuah bandul kecil yang berbentuk Il Duomo (Katedral Milan). Aku memegang dan melihat bandulnya agar lebih jelas. Aku menanyakan harga bandul itu kepada sang penjual. Setelahku tahu berapa harganya aku memberikan dua lembar uang dan pergi dari pedagang asongan itu.

Di depan sana, banyak kerumunan orang yang sedang berjoget dan bertepuk tangan. Suasananya lebih dari kata ramai. Kuterobos kerumunan banyak orang itu. Kini, aku sudah berada dipaling depan. Melihat tiga pria yang sedang ber-dance ria dengan gaya cool nya. Sesekali banyak penonton yang diseret dari salah satu mereka untuk melakukan joget bersama. Lagunya begitu syahdu untuk didengarkan. Aku tercekat, saat tangan sebelah kananku ditarik dan sudah berada di tengah-tengah lingkaran para penonton yang mulai banyak.

Aku mendengar suara tepukan gemuruh itu saat aku mulai berjoget. Aku berjoget bersama. Berputar-putar dengan asyiknya. Tertawa saat gerakannya salah. Aku senang, penduduk di sini tidak begitu mengerikan seperti yang ada di pikiranku. Lagunya selesai, semuanya membubarkan lingkaran itu dan berjalan ke arah yang berbeda-beda. Begitu pun denganku. Sebelum pergi dari tempat ini, aku memberikan dua uang receh ke dalam tong yang sudah disediakan oleh para dance tersebut.

"Thank you," kata pria itu. Aku hanya menganggukan kepalaku sambil tersenyum.

Entah aku akan pergi ke mana lagi. Langkahku tetap berjalan tanpa ada hati yang memberitahunya. Harinya sebentar lagi akan berubah menjadi petang. Di atas sana, awan berwarna jingga menghiasi indahnya Kota ini. Kakiku berhenti melangkah saat di depanku terdapat bangunan besar yang menjulang tinggi ke atas awan.

Banyak burung merpati di pelataran tempat ini. Aku tertegun melihatnya. Begitu indah. Aku mengarahkan kamera hitam milikku ke arah depan. Memotret bangunan yang ada di depanku. Sudah beberapa gambar aku melakukan pemotretan dan hasilnya pun sangat menakjubkan.

Aku mengarahkan kameranya lagi. Menatap bangunan itu melalui lensa kameranya lalu membidik beberapa orang yang sedang menepi ataupun berlalu lalang. Dengan gerakan perlahan, aku berucap di dalam hati...

"Dunia itu indah, seperti saat ini. Semuanya menjadi nyata bahwa aku sedang berada di Negara milik orang lain. Namun, perasaanku entah ada di mana dan dengan siapa? Aku sendiri tidak tahu. Kedua tanganku masih memegang kamera hitam milikku dan sedang mencari titik fokusnya. Di mana benda ini akan berhenti dengan sendirinya kalau titiknya itu sedang memfokuskan seseorang yang akan menjadi takdirku. Takdir selamanya ... dan akan menjadi seterusnya."

Kameraku berhenti dengan sendirinya, bertepatan dengan ucapan dihatiku tadi. Kameraku sedang memfokuskan seseorang yang berada jauh di depan sana. Seorang pria yang sedang melihat hasil jepretannya. Aku menjauhkan kamera yang ada di depan wajahku. Pria itu sama sekali tidak berekspresi. Wajahnya datar, bibirnya pun tak menampilkan seulas lengkungan.

Dengan wajah polosku. Aku memfoto pria itu dari jarak jauh. Aku membuka hasil jepretannya, menimbulkan seulas lengkungan dibibirku. Senyuman. Aku tetap memandanginya. Melihat cara pria itu mencekal kamera miliknya. Aku terdiam membeku. Caranya begitu bagus dan sangat profesional. Sampai akhirnya, pria itu berlalu dari hadapan mataku. Aku tetap memandanginya hingga pria itu benar-benar hilang ditelan oleh keramaian. Sedetik kemudian, aku sadar. Bahwa semuanya akan membuang waktu dan juga sia-sia.

Setelahnya, aku berlalu dari tempat ini. Melangkahkan kakiku untuk mengingatkan tujuanku. Tujuanku hanya satu. Meminum kopi dan menikmati dimalam hari yang sebentar lagi akan muncul. Pintu kedai kopi terbuka dan menimbulkan bunyi lonceng di atasnya. Aku duduk disudut ruangan kedai ini. Suasana di kedai ini bernuansa sangat kuno. Namun, sangat tenang dan hening. Aku mengangkat tangan kanannya kemudian memanggil barista yang sedang mengelap meja di meja sebelah kananku.

Aku memulai pesan satu kopi cappucino kesukaanku. Setelah kepergian barista itu di depanku. Aku membuka kameranya kemudian melihat wajah pria itu yang ada dikamera milikku.

Klening...

Tatapanku mengarah ke pintu masuk kedai yang baru saja bunyi. Sosok pria dengan jaket hitamnya memunggungiku kemudian berjalan ke arah ruangan barista yang lainnya.

"Aileen?"

Aku mendongak, kemudian menyipitkan kedua mataku. Tepat di depanku terdapat "Restu?" panggilku tak percaya.

Restu, teman masa SMA-ku dulu. Laki-laki berandalan yang selalu diincar guru BK dimasa sekolahnya. Walaupun begitu, Restu anak yang baik dan ramah kepada siapa pun. Entah kenapa aku mengenal laki-laki yang ada di depanku ini. Mungkin, karena dulu aku pernah bertukar sapa kepada Restu dan saat itu pula, dia selalu menemuiku dijam istirahat.

Dia menghampiriku lalu duduk di depanku. Aku mengernyitkan dahinya saat Restu mengenakan baju barista seperti yang lainnya. "Apa kabar?" Ucap Restu sambil menjulurkan tangannya minta dijabat.

Aku tersenyum canggung kemudian menerima uluran itu sambil berkata "iya baik. Kamu sendiri?"

"Lihat sendiri kan, aku sehat di sini. Tambah cantik juga ya kamu," aku hanya tersenyum singkat.

Kemudian menatap pria yang sedang meletakkan kopi pesananku di atas meja. Pria yang tadi kulihat saat di Il Duomo (Katedral Milan). Kuperhatikan wajahnya tanpa lekukan dibagian bibirnya. Lamunanku buyar saat dia berkata, "I hope you enjoy this coffee."

Aku segera menjawab, "thank you."

Sampai dia pergi pun aku masih melihatnya, melihat punggung tegap milik pria itu sampai dibelokkan tembok pembatas pelayan. Lalu aku mengalihkan mataku ke arah kopi di atas mejaku kemudian menyesapnya sedikit. "Dia barista di sini?" tanyaku sambil menatap Restu yang sedang menatapku juga.

Restu mengangguk, "namanya Devan," aku masih diam dan masih menampilkan wajah datarku.

Lihat selengkapnya