Sajak Derai Ombak

Bernika Irnadianis Ifada
Chapter #3

Berketepian

He is just a stranger. But he is also one of the billions of people lost in this story.

***

"Namanya Jessy. Dia benci sama keramaian," ucap Sharla sambil mengamati Jessy yang sedang memainkan kedua tangannya dan duduk dikursi paling sudut.

"Kok bisa?"

"Awalnya gini..."

Sharla menceritakan tentang Jessy. Gadis berumur 10 tahun yang memiliki rambut keriting dan sering menyendiri saat jam istirahat kembali mengundangnya. Aku memandangnya lagi, menatap matanya tanpa berkedip. Dia melirikku sekilas lalu berdiri dengan tongkat yang dijepit oleh kedua ketiaknya saat ibunya sudah menjemput. Digendongnya tubuh kecil Jessy kemudian dibawa masuk ke dalam mobil.

Mungkin, kebencian akan suatu hal yang ramai membuat Jessy terlalu menutup semua kepribadian tentang dirinya. Kehidupan sosialnya pun seiring berjalannya waktu semakin membuatnya tertutup. Setelah itu, aku kembali masuk ke dalam ruangan yang bercat hijau. Kembali pada kegiatan awalku yang sebelumnya, mengajarkan anak-anak yang begitu spesial dimata Tuhan.

Menurutku, berpetualang kepada mereka memiliki gaya hidup baru. Mengerti bahwa semua ciptaan Tuhan itu tidak ada yang sempurna. Walaupun aku baru beberapa hari memberi pengetahuan kepada mereka namun, mereka sudah membantuku untuk hidup dengan kata sederhana. Sambil tersenyum aku mulai mengajari anak tunawicara itu membuat burung dari kertas origami berwarna merah muda.

Hasilnya jadi, lantaran anak tunawicara yang bernama Paola itu tersenyum lebar sambil bertepuk tangan. Dia menggerak gerakkan jari tangannya seolah-olah tangan itu pengganti pita suara yang tidak bisa digunakan lagi. Jari tangan Paola membentuk menjadi sebuah rangkaian kalimat "thank you."

Dengan segera aku menjawabnya menggunakan tangan dan bibirku mengucapkan, "smart kid."

Harinya sudah sore, aku berjalan keluar dari asrama tempat kerjaku tadi. Saat di depan asrama, netra mataku langsung disuguhi pemandangan yang secara spontan membuatku tersenyum merekah. Seorang barista dengan motor bebeknya yang berwarna merah itu sudah menunggu kehadiranku. Dia tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku tidak membalasnya, aku tetap berjalan mendekati Devan.

"Lama?"

"Kayaknya," jawab Devan sambil memakaikan helm ke kepalaku. Aku cuma tersenyum sambil menepikan beberapa rambut yang tadinya menutupi sebelah mataku.

"Mau makan?" tanyanya.

"Mau ke kedai saja, boleh?"

Setelah itu, kami berjalan membelah jalanan indah di Kota Milan. Aku bertanya, "Dev, kenapa kamu ingin menepi ke ceritaku? Alasannya apa?"

Dia belum menjawab. Hingga menunggu sepuluh detik, dia baru menjawab, "mungkin alasanku cuma hal yang menurutku sepele. Aku ingin memberikan setengah waktuku untuk kamu, Ai."

"Kalau aku masih belum menerima?"

Dia langsung menjawab, "aku enggak akan menyerah sebelum kamu mau jadi rumahku untuk kembali pulang."

Aku hanya diam. Mengapa ada pria ciptaan Tuhan yang berkeinginan untuk memberikan sebagian waktunya untukku? Pikirku dalam hati.

"Kamu kenapa ingin jadi guru, Ai?" tanya Devan yang masih mengendarai motor bebeknya.

"Menurutku guru itu sederhana. Memiliki beberapa ilmu yang harus dikaji untuk para muridnya. Seperti kata ibu, guru termasuk orang tua kedua setelah bapak dan ibu yang ada di rumah. Mereka sama-sama mendidik, sama-sama melarang kalau kita melakukan hal yang salah."

"Terus kenapa kamu ingin jadi orang tua kedua, bukan yang pertama?" aku terkekeh atas pertanyaannya.

"Dari sini aku belajar, berapa batas kesabaranku. Semuanya butuh proses, Dev. Butuh waktu untuk belajar kembali. Di tempat kerjaku semua muridnya begitu spesial di mata Tuhan. Anak-anak yang hebat, anak-anak yang pintar, juga mereka mempunyai mental yang enggak akan sama seperti anak-anak pada umunya. Kamu juga harus bisa belajar sabar ya?"

"Kenapa aku?" tanya Devan sambil membelokkan motornya ke pertigaan jalan raya.

"Karena kamu laki-laki dan aku perempuan."

"Jawaban kamu salah, Aileen."

"Why?"

"Seharusnya gini, karena kamu habis pulang kerja kita mampir ke resto dulu sebelum membeli kopi," Setelah itu motor bebeknya berhenti tepat di depan resto. Aku hanya tertawa kecil lalu turun dari motor bebeknya. Mana ada, seorang barista memperbolehkanku ke kedai kopi saat aku belum makan?

Setelah makan di resto, "kita jalan-jalan dulu mau? Mumpung masih sore," aku hanya mengangguk.

Akhirnya kami berkelana menggunakan motor bebek berwarna merahnya. Melintasi beberapa lampu merah yang sudah berwarna hijau. Tiupan angin dan senja disudut bangunan Kota ini membuat sebuah latar belakangnya lebih menarik.

"Kita sebenarnya mau ke mana sih, Dev?"

"Menghabiskan waktu bersama tuan puteri."

"Sia-sia."

"Enggak bakal sia-sia kalau sama kamu, Aileen," aku hanya mendengus.

Beberapa detik lagi dia berucap. "Di dunia ini yang paling kamu sukai apa?" tanyanya.

Aku berpikir sejenak, "senja dan pantai."

Lihat selengkapnya