Tempurung kura-kura yang tertinggal di masa lalu.
***
Saat kalian mendengar itu, kalian merasakan seperti apa?
Masa lalu? Atau,
Kehadiran seseorang yang masih menghantui dipikiranmu?
Kalau menurutku, semesta menciptakan ruang dan waktu untuk kita berbuat dan melakukan sesuatu, hingga berakhir menjadi masa lalu. Aku pernah, menempati ruang dan waktu. Tapi, satu hal yang selama aku ingat cuma satu, masa laluku bersama Bumi. Dia termasuk seseorang yang berhasil menempati semua kegelisahanku di masa lampau. Di mana masa itu selalu menjadi perihal terbaruku kemudian patah hati.
"Hai? Kebiasaan sejak pertama kali ketemu, ternyata belum hilang juga ya?"
Aku mendongak, menatap pria yang menggunakan baju barista dan tiba-tiba ada di depanku.
"Surely you will ask, I'm still thinking about what, right?" balasku sedikit menebak.
"Hal kedua, Apparently you can read someone's mind?"
Aku hanya diam. Menatap kosong ke arah Devan. Dia terlalu baik yang semesta kirimkan kepadaku, batinku.
"Kopinya sudah dingin, belum di minum atau memang sengaja biar enggak panas?" tanyanya lagi.
"Aku minum kok, sedikit."
"Mau kubuatkan lagi?"
"Enggak usah, nanti yang ini aku minum Dev."
"Tapi sudah dingin, enggak enak," sambil memegang cangkirku.
"Enggak perlu, Devan," aku menarik cangkir itu dan di letakkan kembali ke atas meja.
Aku harus bertanya, "kemarin kamu nanya hal yang aku sukai di dunia ini apa 'kan? Sekarang, gantian aku yang nanya sama kamu," ucapku sambil menatap Devan yang sedang menatapku balik.
"Kemarin kan udah."
"Bukan yang itu."
"Lalu?"
"Dev, di dunia ini yang kamu paling benci, apa?" tanyaku sambil menatap matanya yang begitu indah.
"Kamu ke sini cuma mau nanyain itu? Enggak sia-sia?"
"Aku cuma nanya, enggak bakalan buang waktu banyak kan?"
"Enggak buat kamu, tapi iya buat aku. Kalau aku ketemu sama kamu cuma sebentar, itu artinya aku enggak bakalan mau."
Dia berdiri lalu memberikan baju baristanya itu kepada barista lain yang sedang mengelap meja, lalu berucap, "I will go for a while!"
Dia menarik tanganku, "mau kemana?"
"Keliling ke kota mati."
Kami menaiki motor bebek merahnya. Mengelilingi beberapa bangunan yang menjulang tinggi ke atas awan.
"Aku hanya butuh jawaban," kataku.
"Jawabannya nanti. Kita jalan-jalan dulu."
Mungkin, benar. Aku butuh jalan-jalan. Kata orang, kalau banyak pikiran, sebaiknya jalan-jalan, mencari angin.
"Ai, kalau aku punya rumah seperti itu, mau?" katanya sambil menunjukkan rumah mewah di tepi jalan.
"Enggak."
"Kalau itu?" dia menunjuk rumah sederhana, namun, terlihat asri. Banyak tanaman hias dan juga pohon cemara.
"Enggak."
"Kalau yang itu?"
Aku melihatnya dari jauh. Terkekeh kecil atas ucapan Devan barusan.
"Itu rumah anjing, mana ada aku yang segede gini masuk ke rumah anjing yang sempit itu?"
Devan tertawa.
"Lalu yang seperti apa?"
"Enggak seperti apa-apa. Enggak terlalu mewah, namun sederhana."
"Berarti kamu enggak mau aku buatkan rumah?"
"Memang kamu bisa buat rumah sendiri tanpa bapak tukang?"
"Ya... bangun sama-sama."
Diam sejenak.
"Rumah tangga maksudku," ujar Devan lumayan keras.
"Harus sekali ya?"
"Iyalah. Kamu itu perempuan yang selalu buatku berdetak."
"Berarti kalau enggak ada aku, kamu mati?"
"Iya, mati rasa."
Aku tersenyum. Hal yang mudah bagiku, tersenyum ketika ada hal yang aneh.
"Jadi, jawabannya apa?" Tanyaku.
"Belum bisa dijawab, kan, motornya belum berhenti."
"Berhentiin dong."
"Jangan."
"Kenapa?"
"Biar lama di atas motor bebek. Katanya, motor bebeknya lagi kangen. Jadi, ingin lama-lama."
"Itu kan cuma alasan kamu."
Anginnya menerpa wajahku. Helaian rambutku beterbangan. Motornya berhenti saat di depan terdapat lampu lalu lintas yang masih berwarna merah. Aku menikmati saat seperti ini. Bumi pernah bilang...
"Matanya tiga kakinya satu, apa?" tanyanya saat kami sedang menaiki sepeda ontel dan berhenti tepat di depan terdapat lampu lalu lintas yang masih berwarna merah.
"Em... apa ya? Film kartun yang ada monsternya itu ya?" tebakku.