Pernah sekali patah hati dan jangan pernah untuk berkali kali.
***
"Sharla! Aku duluan!" teriakku sambil keluar ke gerbang asrama tempatku bekerja.
"Hati-hati ya?!"
Setelah itu, aku menaiki metro mini. Di dalam metro mini tidak terlalu ramai. Aku duduk di pinggir jendela kemudian mengeluarkan ponsel lalu menghidupkannya.
Kamu mau pulang, Ai?
Aku hanya membaca pesannya saja. Menurutku, pertanyaan itu selalu membuatku bimbang. Aku tidak suka Bandar Lampung. Dia sudah melenyapkan semua gemerlap dan riuh di duniaku. Dan aku benci Bumi. Metro mini yang kunaikki berhenti tepat di depan halte pemberhentian. Aku turun kemudian menengadahkan pandanganku saat tubuh dan ragaku berdiri tepat di perpustakaan kota Milan.
Awalnya aku hanya memandang, tiga menit kemudian aku berani masuk. Aku tidak suka pertemuan di depan perpustakaan kota Bandar Lampung.
"Good afternoon," sapa petugas perpustakaan yang ada di samping pintu.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Aku memandangi perpustakaan ini. Tempatnya luas, biliknya ada empat. Di samping bilik terdapat beberapa kursi besi putih dan meja kecil berbentuk bundar. Banyak yang berkunjung di tempat ini, terutama kunjungan mahasiswa.
Aku memasuki bilik pertama. Langkahku pelan, aku memikirkan kalau nanti tiba-tiba saja Bumi muncul di bilik yang kumasuki, nanti aku pingsan atau hanya terkejut? Aku memandangi beberapa bukunya. Di bilik ini terpampang buku-buku best seller yang sudah sejak dulu kala. Aku mengambilnya satu yang bergenre romance dan berjudul Persuasion karangan milik Jane Austen terbitan pertama tahun 1818. Setelah mengambil buku itu, aku duduk didekat jendela. Memperhatikan sampulnya kemudian membaca singkatan ceritanya pada sampul terakhir.
Novel itu menceritakan Soal perasaan lama yang dapat bersemi kembali, masih menjadi pertanyaan, tapi masa silam pasti masih terkenang oleh keduanya. Anne Elliot harus rela melepaskan kekasihnya, Frederick Wentworth, karena keluarga besar Anne menganggapnya tak sederajat dengan nama besar bangsawan Elliot. Anne pun tetap menyendiri, tak mengindahkan pinangan dari pria lain. Delapan tahun berlalu sejak perpisahan menyakitkan itu, Frederick kembali hadir di hadapannya. Pria itu bersikap seolah mereka tak saling mengenal. Sebaliknya, Anne berusaha menutupi kegugupannya tiap kali harus memandang pria yang masih terus dicintainya itu. Berbagai kesempatan yang selau mempertemukan mereka semakin menyiksa batin Anne.
Classic Romance-kisah cinta yang tak lekang oleh masa, karya indah para penulis legendaris yang disajikan untuk memberi makna baru dalam romantika kehidupan. Mungkin, kisahku dengan Bumi mirip sekali dengan kisah Anne dan Frederick. Namun, Bumi tidak pernah bersikap seolah tidak mengenal kepadaku. Sebaliknya dia yang terang-terangan sering menghantui dipikiranku hingga saat ini. Kisahku beda dengan kisah cinta mereka.
"Read it from the beginning, so you know why it can be this way and that way," pemuda asing berkaca mata itu duduk disebelahku dan memandang ke arahku.
"Yes i know and thank you," jawabku sambil tersenyum.
"The story tells something real in this world. And it really does exist," aku menatapnya lagi. Yang diucapkan oleh pemuda itu benar sekali, ceritanya memang benar-benar ada di dunia yang abadi ini.
"If I say the story is similar to my love story, do you believe?" tanyaku.
Pria itu terdiam sejenak lalu mengucapkannya lagi,
"In the world no one doubts someone to believe. So, I believe in the story that you are experiencing right now. And I know, because you already took the book. Read to the end to find the answer."
Setelah mengucapkan itu, pemuda berkaca matanya pergi meninggalkanku sendirian.
Memang benar, aku harus membacanya hingga akhir biar ketemu jawabannya. Akhirnya, aku berdiri menghampiri petugas perpustakaan yang ada di depan bilik pertama dekat dengan jendela samping pintu.
"Excuse me," petugas perempuan yang tadi kupanggil mendongak menatapku.
"Is there anything I can help?" tanyanya ramah.
Aku tersenyum kemudian menyodorkan buku yang tadi ambil di bilik pertama.
"May I borrow this book?"
"Sorry in advance, do you have a personal library card?" tanya petugasĀ perempuan itu.
"Oh, sorry, I'm new in this city, so I don't have that card," jawabku sedikit pelan.
"If so, you must first create a library card so you can borrow it," katanya lagi.
Aku tidak jadi meminjamnya, mungkin lain kali. Kemudian aku melangkahkan kakiku menuju halte tepat di depan perpustakaan yang kumasuki tadi. Senja di ufuk barat melembungkan suasana yang beriak-riuk. Awan berwarna ungu tua yang dicampuri dengan jingga mendominasi sebagai warna yang sempurna. Burung-burung melirik tak minat ke bawah sini, seakan-akan suasana di kota ini melukiskan bagaimana seekor burung kehilangan suasananya dan juga rumahnya. Asap kendaraan dan juga beberapa gedung-gedung tinggi sudah membuat sekumpulan burung kecil hilang lalu pergi meninggalkan kota mati ini.
Aku terdiam membelenggu saat mobil bewarna merah melintas. Bumi! Aku menemukan mobil bewarna merah itu. Pekikku dalam hati. Lalu aku tersenyum bangga, karena sudah menemukan mobil berwarna merah.
"Ternyata kamu di sini? Kata temanmu itu, kamu enggak nungguin aku jemput terus buru-buru naik metro mini, kenapa?"
Aku menatapnya dan mencebikkan bibirku kesal, "iya-iya. Aku minta maaf. Kemarin kan aku sudah bilang, aku mau mampir ke perpustakaan dulu. Tapi, kamu enggak dengar ya?"
"Sebenarnya dengar sih. Cuma pura-pura enggak dengar saja," dia terkekeh.