Sajak Derai Ombak

Bernika Irnadianis Ifada
Chapter #6

Ketika Jatuh Hati

Ada waktu di mana hari itu akan menjadi suatu hari yang telah membuatnya jatuh hati.

***

Kata orang, kalau jatuh hati artinya sama saja dengan jatuh cinta. Tapi, kalau menurutku, jatuh hati sama saja kayak patah hati. Karena hati yang awalnya ada di tempat yang sama suatu saat akan jatuh dan hancur berkeping-keping. Aku hanya terdiam dan sesekali meminum kopinya yang masih mengepulkan asap putihnya.

"Ai? Mau jalan-jalan enggak?" ucap Devan yang sudah duduk manis di depanku. Baju baristanya sudah ia lepas.

"Pelangganmu?" kataku.

"Enggak apa-apa Ai. Di dalam masih ada Restu sama Rico."

"Kasihan dong."

"Enggak papa. Ayok!" dia berdiri lalu meraih tanganku dan keluar dari kedainya.

Aku keluar bersama Devan menggunakan metro mini. "Kenapa naik metro mini?" kataku yang sudah duduk di dekat pintu masuk.

"Biar kita bisa merasakan keramaian di Kota Milan. Lagi pula, ini bukan sesekali, tepi berkali-kali. Walaupun berkali-kalinya sering sendirian, tanpa kamu," ia menyentil hidungku. Aku melirik kesal ke arah Devan kemudian menyandarkan punggungnya di kursi penumpang.

"Kita mau ke mana?"

"Ke perpustakaan kota. Aku tahu, kamu ingin meminjam novel yang judulnya Persuasion, kan?" tanya Devan.

"Sok tahu!"

"Bukan sok tahu, tapi memang tahu."

Dia bukan peramal, dia juga bukan Dilan dan Milea. Mungkin, karena praduganya saja yang sering menggunakan bahasa sakralnya itu ia memang sudah tahu. Dia ciptaan Tuhan yang sering membuatku panas dingin ketika mendengarkan ucapannya yang selalu aneh. Mungkin, kalau kalian jadi aku, kalian perlu belajar sabar di setiap ada di dekatnya.

"Kamu suka buat puisi ya?" tanyaku.

"Sok tahu!"

"Bukan sok tahu, tapi memang tahu," celetukku mengikuti gaya ucapannya.

Dia hanya memutar bola matanya dengan malas lalu menyandarkan kepalanya di kursi metro mini.

"Begitu saja sewot," kataku sambil menyenggol lengannya menggunakan sikuku lalu terkekeh pelan.

Metro mininya berhenti. Kami turun dan langsung memasuki perpustakaan yang ada di dekat trotoar. Tidak ada yang menyapaku seperti minggu lalu. Aku memasuki bilik pertama untuk mencari buku yang minggu kemarin akan kupinjam. Devan berjalan dan langsung duduk di dekat jendela. Saat itu buku yang sedang kucari ternyata sudah tidak ada. Aku menghampiri penjaga perpustakaan itu.

"Excuse me. Is there a book called Persusion here?" tanyaku kepada penjaga yang kemarin menyapaku di dekat pintu. Mungkin, tugasnya bergantian. Petugas itu terdiam sebentar lalu mengecek beberapa kartu perpustakaan yang ada di dalam kotak.

"Sorry in advance, the book was borrowed by someone," katanya lalu aku pergi setelah mengucapkan terima kasih.

"Kenapa?" tanya Devan setelah aku sudah duduk di depannya.

"Bukunya enggak ada. Katanya, sudah dipinjam sama orang lain."

"Kalau begitu, kita pulang lagi saja ke kedai, yes or no?"

"No!" ucapku tegas namun lirih sambil melotot ke arah Devan. Dia hanya terkekeh kemudian beranjak pergi dari duduknya.

Aku mengikutinya. Di dalam metro mini aku hanya diam menahan amarahku. Devan yang duduk di sebelahku hanya tersenyum simpul. Setelah itu, aku langsung turun dan masuk ke dalam kedai. Kedainya sudah mulai sepi. Aku duduk di tempat sebelumnya. Devan tidak menemuiku, dia malah masuk ke dalam.

"Mau ikut lagi enggak?" ucapnya sambil menenteng tas kameranya.

Aku hanya diam. Aku cuma lagi kesal sama Devan.

"Beneran? Sebentar lagi kedainya sudah kusuruh buat tutup," aku melototkan kedua mataku dan mulutku ternganga.

"Enggak bisa begitu dong, Dev!"

"Ya sudah kalau enggak mau ikut," dia keluar lalu, "Restu, kedainya kalau sudah sepi di tutup saja!" teriaknya sambil menstater motor bebeknya.

Lihat selengkapnya