Riuhku berpulang ketepian nestapa. Mengukir dan melanjutkan hal yang waktu itu sunyi.
***
Informasi kalau pesawatnya hampir boarding terdengar dikedua telingaku. Aku segera berdiri dan memberikan cup kopi cappucinonya kepada Restu untukku suruh membuangnya. Tas ranselku sudah kupakai dikedua pundakku. Lalu kugeret koperku dan berjalan pelan ke arah pengantrian setelah Restu memelukku erat. Entah kenapa, hatiku ingin sekali tertinggal di sini untuk Devan melalui titipan dari Restu. Dan seluruh ragaku agar kuterbangkan untuk ke tujuan Bumi berada. Aku akan pulang, Bumi. Aku harus menyelesaikan masalah ini biar selesai dan setelah itu aku akan kembali lagi ke kota Milan. Ya?
"Hati-hati ya, Ai?!" teriak Restu sambil melambaikan tangannya saat aku sudah memasuki pengantrean untuk memasuki pesawat. Aku tersenyum kecewa saat Devan benar-benar tidak menemuiku untuk sekedar mengantar ke tempat perpisahan ini.
"Kabari aku kalau sudah sampai!"
Aku hanya menganggukkan kepalanya sambil melambaikan tangannya. Lalu memasuki pesawat setelah satpam mengecek semua badanku dengan alat entah itu apa.
Di dalam pesawat aku hanya terdiam menatapi jendela kaca di sebelahku. Novel Persuasion yang kemarin malam Devan memberikan kepadaku, sengaja kutinggalkan di dekat guci sebelah televisi. Aku banyak diamnya kali ini. Mengira-ngira kalau aku akan kembali ke Kota Milan lagi atau tidak. Saat seorang pramugari cantik mendatangiku dan menawarkan sesuatu kepadaku, aku hanya meminta satu gelas soda. Tanda menghargai seorang para pekerja di dalam pesawat ini.
Kubuka kamera yang ada di dalam tas. Melihat semua file yang tersimpan di dalam kamera itu. Di sana terdapat foto Devan yang pertama kalinya kutemui di Il Duomo Katedral Milan. Dia sedang memegangi kameranya begitu profesional. Waktu itu Devan pernah mengatakan, "Semesta itu hanya berpura pura, Ai, layaknya seorang tuan putri yang berhenti mengejar tuan putranya karena dia capek, padahal di hatinya terdapat gengsi," ucapnya sambil memotret orang yang berlalu lalang dan beberapa anak kecil yang sedang meniupkan gelembungnya yang terbuat dari sabun.
"Kalau kamu berhenti buat mengejar aku, alasan kamu sama kaya tuan putrinya?" tanyaku sambil menyipitkan matanya ketika angin menghembus lewat di area depanku.
"Enggak ada yang namanya berhasil kalau kita enggak ada usaha. Apa pun masalahnya, apa pun halangannya, kalau kita mau berhasil, itu artinya kita harus bisa usaha, Ai," katanya lalu memotretku dari arah samping. Aku menatap depan dengan senyum cantik dibibirku.
"Kali ini aku pasti cantik," ucapku menanggapi potretan kameranya.
"Kapan-kapan gambarannya buat kamu semua deh," aku hanya mengangguk lalu meletakkan kepalaku dipundak Devan.
"Di Bandar Lampung jangan kelamaan ya?"
Sedari tadi aku hanya melamun. Dev, kalau aku enggak bisa tepati kemauan kamu, kamu akan marah sama kayak aku marah sama Bumi waktu Bumi mengecewakan aku? Aku enggak bisa menanggapi pertanyaanmu yang satu itu. Aku takut kalau aku hanya mengada-ngada. Bantinku. Kemudian aku mengambil ponselku lalu menghidupkannya dan memotret jendela kaca milik awak pesawat. Gambar itu, kukirimkan untuk Bumi.
Bumi, aku akan pulang ke Bandar Lampung...
Setelah mengirimi pesan, ponselku segera kumatikan dan kumasukkan ke dalam tas ranselku. Tak sengaja melihat buku tebal berwarna merah kecokelatan. Aku tersenyum saat melihatnya. Buku tebal itu milik Jessy yang sengaja diberikan untukku.
Gadis tunawicara dan cacat itu mulai menggerakkan jari-jari tangannya dan mulutnya yang berusaha untuk berbicara. Jari-jari tangannya menghasilkan sebuah rangkaian kalimat, "Are you going back to the city of Lampung?"