Dia pandai bercengkerama, pandai mengada-ngada, lalu dia juga pandai membenci dirinya. Tapi, dia tidak pandai melupakan rasa yang sebenarnya jauh dari kata bahagia. Itu aku.
***
Siangnya menyorot kehidupan di alam semesta. Tadi malam, cuacanya agak gerimis. Lalu balasan dari Restu membuatku lega. Dia mengirimkan balasan bahwa Devan sedang merindukanku. Tidak tahu, kalau itu benaran atau hanya mengada-ngada. Manusia kan, hanya pandai mengada-ngada tanpa melihat kalau perihalnya sedang dalam mode bimbang.
Siang ini suara lirikan lagu terdengar di dalam kamar kak Danang. Lagu yang sering kali aku dengar bersama Bumi waktu itu. Aku bukan ingin melampiaskan rasa benciku kepada Bandar Lampung, aku hanya ingin pindah, meninggalkan, lalu melupakan di Kota Milan. Aku enggak membenci Bumi, aku hanya bingung bagaimana caranya untuk mengembalikan perihal rasaku agar menjadi seperti semula. Tertata rapi tanpa ada yang melihatku rapuh.
"Woi, mau ke mana? Rapi amat," ucapnya sambil berjalan ke arah dapur lalu mengambil air minum di dalam kulkas.
"Mang Warso masih jualan bakso enggak bang?"
"Masih. Memang kenapa?"
"Mau temu kangen sama Mang Warso."
"Satu ya!" teriaknya saat aku sudah di depan rumah.
Mang Warso itu langgananku dulu saat aku dan Bumi masih SMA dan masih bersama-sama. Mungkin, kalau aku ke sana lagi, mang Warso menanyakan kenapa enggak sama mas Bumi neng? Kalau semisalnya iya, aku akan jawab apa? Masa iya, aku akan jawab, Buminya hilang dari alam semesta mang. Itu kan enggak lucu.
Sepedaku melewati pertigaan perumahan. Ternyata Bang Indro masih menjadi keamanan di perumahan ini. Rambutnya masih saja berwarna putih.
"Bang Indro!" aku memanggilnya lalu menghentikan kayuhan sepedaku.
"Neng Ayu? Pulang kapan neng?"
Hanya Bang Indro yang memanggilku dengan sebutan Ayu. Katanya Bang Indro, kalau dari bahasa Jawanya, Ayu artinya cantik.
"Kemarin sore Bang. Bang Indro apa kabar?"
"Alhamdulillah sehat neng, makin cantik saja nih," katanya sambil cengengesan.
"Waktu neng Ayu belum pulang, mas Bumi juga sering ke sini. Terus cerita ke Bang Indro melulu neng."
"Cerita apa Bang?"
"Katanya, ini misi terus misinya itu enggak boleh bilang ke siapa-siapa. Rahasia katanya."
"Oh, ya sudah aku ke depan dulu ya Bang," lalu aku menggayuh sepedaku kembali.
"Ke mana neng?!"
"Perpustakaan kota Bang!"
Aku melewati jalan raya. Banyak sekali orang-orang yang menggunakan motor, mengendarai mobil, dan banyak orang-orang yang sedang mengantre di depan halte hanya untuk menunggu metro mini atau taksi. Ada beberapa manusia yang sedang menunggu di depan zebra cross hanya untuk menyeberang. Mungkin, hanya aku yang menggunakan sepeda di zaman sekarang. Dilampu lalu lintas semua pengendara jalanan berhenti, kemudian aku mengambil ponsel dan headsetku di dalam tas selempangku.
Lagu mengalun dengan damai. Aku hanya mendengarnya dan sesekali ikut bergumam melalui alunan lirik lagu yang sedang kuputar. Aku berbohong dengan kak Danang, aku tidak jadi ke Mang Warso. Dan Aku berbohong juga dengan Bang Indro, kalau aku tidak jadi ke perpustakaan kota. Kayuhan sepedaku mencari kafe penjual kopi. Barangkali di sana aku bertemu dengan orang yang mirip dengan Devan.
Dari awal, aku tidak suka berteman dengan orang-orang di Bandar Lampung. Mungkin, hanya Bumi saja. Di Kota ini aku sama sekali tidak mempunyai teman SMP, SMA, ataupun kuliah. Bukannya aku tidak suka dengan pertemanan. Namun, aku sekedar bingung saja dengan Bandar Lampung. Kota ini yang selalu membuatku berpindah, berpulang, bimbang, ataupun bertepi.
"Mau pesan apa, neng?" seorang barista menghampiriku yang tengah asyik melamun dengan duniaku tentang Kota Bandar Lampung.
"Oh, hm... latte satu."
Hari ini, aku berbeda saat aku sedang di kota Milan. Aku tak memesan cappucino lagi, minuman itu termasuk ciri khasku saat aku masih berada di Kota Milan. Kalau di sini, mungkin aku akan belajar sedikit tentang perbedaan.
"Nengnya suka ngelamun ya?" barista itu kembali lagi dengan tangan yang sudah membawakan kopi pesananku. Aku hanya memandang,