Sajak Derai Ombak

Bernika Irnadianis Ifada
Chapter #9

Tertutupnya Rasa Rindu

Harinya cepat sekali untuk bergulir dan seseorangnya mudah sekali dalam bertemu. Apakah ini yang dinamakan tertutupnya rasa rindu?

***

Saat kejadian kemarin itu, aku sering melamun di dalam kamar. Memandangi beberapa ikan koi yang mulutnya meletup letup mengeluarkan gelembung gelembung air. Kemarin, Bumi memelukku sangat erat seakan akan aku nggak boleh pergi darinya. Andai andaiku kemarin cuma terpusat pada satu titik, bisa berdamai dengan diriku sendiri lalu bercerita tentang Devan dan Kota Milan bersama Bumi. Namun, itu hanya andaian yang sulit sekali untukku coba.

Kring...

Aku mengambilnya lalu mengangkat telepon rumah yang ada di dalam kamarku. Suara itu bukan suara milik Devan, Bumi, ataupun Restu. Tapi, suara itu milik barista si menyebalkan dihari kemarin.

"Kemarin, aku lihat kamu. Kok pakaiannya acak acakan? Terus kamu nangis? Kenapa?"

"Aku hanya diam, tak ada niatan untuk menjawabnya."

"Oke oke. Mungkin ini bukan urusan aku. Tapi aku berhak tahu dong. Kan kamu temenku sejak sore itu, yang sudah resmi berkenalan di dalam kedai."

"Dapet nomerku dari mana?"

Aku spontan menjawabnya dengan judes.

"Hahaha... akhirnya ngomong juga ya. Dapet dari formulir yang kemarin sore kamu isi."

"Buat akal akalan doang? Iya?"

"Iya, sory sory. Lagian kamu tuh orangnya tertutup gitu. Ga asik lah."

Setelah mendengar kalimat terakhirnya, ku segera mematikannya dengan sebal. Mungkin ada benarnya juga, aku orangnya terlalu tertutup dengan keadaan. Tapi, aku memang begini. Tertutup ciri khasku yang berbeda sekali dengan mereka. Cara pandangnya pun sulit sekali bahwa aku adalah seseoarang yang bernama Aileen.

Aku menyetel radio yang ada di dalam kamarku. Menyetel Catatan Pagi si Penulis Bintang. Emang dari dulu saat aku menetap di Kota Bandar Lampung, aku sering sekali menyetel itu. Sampai sampai aku hafal suara milik penyiarnya, kalau gak salah namanya Mas Dito.

"Hai hai hai? Selamat pagi kawan kawan. Bertemu lagi dengan saya... Mas Dito. Disiaran radio yang bertema Catatan Pagi si Penulis Bintang ini, banyak sekali nih yang mau menyampaikan perihal rasanya, terutama hm... katanya harus di samarin namanya dulu gais. Oke, saya kasih nama Mas Dahlan," itu suara milik Mas Dito. Suara cerianya mampu membuat sang pendengar merasa berharmoni.

"Hai? Saya Dahlan, saya akan menyampaikan perihal rasa milik saya. Sebelumnya, saya ingin bertanya dulu nih mas Dito, kalau sudah lama gak ketemu terus sesekali ketemu, apa iya pasti pertamanya langsung patah hati?..." aku terbelengu, itu bukan suara milik mas Dito lagi, tapi suara milik Bumi. Aku hanya menatap radionya dengan tatapan kosong. Siaran dari chanel radio itu terus bersuara walaupun aku tidak mendengarkan suaranya sesekali.

"Patah hati itu wajar sih mas, tapi yang gak wajar itu kalau baru ketemu langsung patah hati. Ya... mungkin dari beberapa kalangan kita kita nih ada yang bilang itu wajar dan ada yang bilang itu nggak wajar. Kalaupun iya atau nggaknya, pasti ada alasannya dong," sahut mas Dito. Dengan segera aku mematikan chanel radionya dipagi hari ini sebelum Bumi bercerita kembali.

***

"Kamu kemarin ketemu sama nak Bumi?" suara lembutnya mampu membuatku menoleh seketika.

"Emang salah ya bu, kalau aku marah sama Bumi?"

"Marah itu gak apa apa sayang, tapi marah juga punya alasan. Kalau kamu gak punya alasan, pasti orang yang sedang kamu marahin jadi bingung."

Lihat selengkapnya