Perlahan mungkin dia akan segera pergi. Dayungan yang ada diperahu sampannya melaju sangat cepat saat kamu mulai menghampiri. Dia bukan takut kepadamu, Ai. Namun, dia hanya ingin hilang dari buminya.
***
Suara gitar memekik di dalam ruangan bernuansa kuno ini. Seorang gadis berambut panjang yang belakangnya dikepang sedikit sedang mengalunkan lagu yang membuat penonton atau pengunjung di kafe ini terbelengu menatap dengan tatapan takjub. Aku hanya memandang tak berselera. Aku suka musik, tapi aku tak terlalu suka saat musik di dalam kafe. Menganggu kesunyianku.
"Dia namanya Tari, Ai. Mau berkenalan dengannya setelah ini?"
"Aku gak terlalu suka sama orang orang di Bandar Lampung."
"Terus kenapa kamu suka Bumi?"
"Aku belum bilang kalau aku suka sama Bumi," jawabku.
"Hm, capucino atau latte?"
"Kopi hitam."
"Beda lagi? Kan sudah ku bil..."
"Bahwa perihal kopi bukan untuk di uji coba," lanjutku sebelum Romi melanjutkan ucapannya.
"Pandai memotong ucapan seorang laki laki," setelah itu Romi pergi ke dapur sambil cengengesan seperti biasanya.
Aku belum bilang ya? Bahwa aku sama Romi sudah berteman setelah aku berbaikan kepada Bumi waktu itu. Dia yang minta temenan, bukan aku. Kata Romi, pertemanan dengan orang yang sering uji coba kopi membuat dirinya ingin sekali menguji coba untuk berteman denganku yang katanya super duper menyebalkan.
Aku menuliskan sesuatu dikertas lalu diselipkannya di bawah vas bunga. Tulisan itu untuk Romi, Romi aku pergi dulu. Malam ini aku ingin sekali berkunjung ke pantai. Menikmati alunan ombak yang lebih menenangkan dari pada keramaian yang ada di dalam kafe tadi. Aku menaikki sepedaku lalu mengayunkan gayuhan sepedannya.
Kira kira, Devan di sana sedang apa? Sama siapa? Dan sudah tidur apa belum? Aku sering mempertanyakan hal itu sendirian. Tapi, tak kunjung dijawabnya. Aku bingung ingin kasih kabar apa nggak. Aku pernah mempertanyakan kabarnya saat itu kepada Restu. Tapi, Restu bilang Devan baik baik saja. Apa iya dibalik baik baik saja ada kalimat yang sama sekali gak baik baik saja?
Alas kakiku, aku lepas. Saat berada di pantai aku ingin bebas, ingin melakukan hal apa saja tanpa ada yang mempertanyakan kenapa dan ada apa? Kemarin aku bilangnya benci kan, dengan pantai, derai ombak, lalu pasir? Sebenarnya gak sama sekali. Saat itu, aku hanya sekedar emosi. Lalu melampiaskan semuanya pada salah satu objek yang sering ku datangi dimalam hari ini.
Aku duduk lalu memandang ke arah depan dan itu benar benar air yang bewarna hitam karena perubahan warna awan. "Kalaupun dunia belum mengizinkanku untuk bahagia, aku bisa. Bahkan disuruh untuk lenyap dari buminya pun aku tidak akan takut. Semua kekhawatiran yang orang orang miliki tidak akan menjelmaku menjadi sosok yang mudah untuk luluh."
Aku tak bergeming, tetap duduk dan merasakan angin yang selalu menerpa bagian inci diwajahku. Aku sekarang menjadi sosok yang mudah untuk percaya diri. Dulu, aku sering takut saat melihat air laut dimalam hari. Bahkan sering jatuh berkali kali dari sepeda. Sekarang, semua itu sudah menjadi kebalikanku saat ini. Saat ini, aku hanya takut kalau perihalku tidak bisa kembali lagi ke Kota Milan.
Banyak yang berkunjung ke pantai. Di samping sana, terdapat gerombolan anak remaja yang sedang mengadakan camping, merayakan ulang tahun, dan banyak yang berpasang pasangan. Mungkin, kalau ku lihat lihat hanya aku yang sendiri dan berada dikejahuan dari para kerumunan itu.
"Biar gak dikatain orang yang gak punya teman, aku boleh duduk?"
Aku mempersilahkannya, "aku emang gak punya teman di Kota ini."
"Kesini sendirian ya, Ai?" tanyanya.
"Sama sepeda."
Dia tertawa kecil.
"Dulu kamu jagonya bikin orang panik tau gak."
"Kenapa?"
"Soalnya, kalau naik sepeda kamu langganannya suka jatuh. Dan itu sukses buat semua orang panik, terutama aku."
Aku tertawa kecil mendengar kalimat yang dilontarkan dari Bumi, "aku juga bawa headset, tapi lupa ku pakai."
"Semua perihal masa lalu kamu hafal semua ya, Ai?"
"Ada yang gak hafal. Satu."