Perjalananku di tengah tengah derai ombak. Perahu itu sudah sangat jauh, sampai sampai sulit sekali untukku gapai.
***
Waktu itu, bulan menerangi sang langit yang bewarna abu kehitaman. Jingga mewarnai langit sore yang pandai bercengkerama dengan burung dan juga pantai. Lalu sekarang, dia tak ingin berteman dengan siapa pun. Tak berani saling menemani karena takut patah hati. Hancur berkeping keping. Tak ada warna. Hanya abu yang bisa menggambarkan atmosfer saat ini.
"Bumi, kamu nggak mengajakku untuk ke pepustakaan kota?" kataku.
"Perpustakaan Kota itu masih sama, Ai, terakhir kali ke sana, aku hanya menempelkan tanggal keberangkatanku saja. Dan menggantungkan foto kita saat masih SMA dulu. Bukannya kamu pertama ke kota ini ke sana ya, Ai? Dan kata mba Nita, kamu ambil foto itu."
Aku mengangguk.
"Kata mba Nita, meja itu hampir dibuang sama petugas perpusnya ya, Bumi?"
"Iya hampir. Tapi mba Nita nggak ngebolehin. Banyak kenang kenangannya, katanya."
"Kamu sekarang nggak terlalu suka sama perpusnya ya, Bumi?"
"Aku suka. Cuma, bosan saja."
Aku sedikit kecewa mendengar jawaban milik Bumi. Kemudian, aku menatap ke arah luar jendela mobil milik Bumi. Di luar banyak pedagang asongan, orang orang yang sedang berlalu lalang, kemudian gadis kecil yang hampir menjual korannya di tengah tengah lampu merah.
"Ai, mau ku ajari cara berjalan di tengah tengah zebra cross?" tanya Bumi sambil menyetir lalu terkekeh pelan.
"Bumi, aku tidak ingin mengulang masa lalu," ucapku lirih.
"Karena apa?"
"Karena aku capek mikirin hal hal itu saja yang selalu membuatku bahagia kemudian dijatuhkan kembali, Bumi. Aku maunya sekarang, ikuti alurnya saja," jawabku agak meninggikan suaranya.
Bumi diam. Tak bersuara. Dia hanya memutar balikkan kemudinya ke tengah tengah jalan raya untuk menuju ke gang rumahku.
"Saat kamu lagi siaran di studio radio, kamu mirip seperti orang yang hilang akan jawabannya. Kenapa?"
Lagi lagi pertanyaan tentang hari lalu.
"Bukan tentang jawabannya yang hilang. Tapi, akunya saja yang kurang memperhatikan pertanyaanya. Jadi, membuatku bingung," alibiku begitu jutek.
"Kalau aku bertanya seperti ini, lusa nanti kamu mau gak ikut aku ke London?"
Seketika aku menoleh dan menatapnya tak suka, "Bumi, jangan menambah cerita lagi. Aku belum berani!" ucapku ketus.
"Belum berani bukan berarti kamu harus nolak kan, Ai?"
"Kalau aku ikut kamu ke kota yang selama ini diimpi impikannya itu, aku gak terima sama catatan Tuhan yang selalu membuatku kebingungan dalam perjalanan kita!" Setelah itu aku keluar dari mobil Bumi dengan amarah yang meluap luap dan pintu mobil ku tutup dengan kerasnya.
Bukannya aku marah, aku hanya kesal saja kepada Bumi. Dia yang selalu membuatku kebingungan untuk mencari sebuah perihal. Dia yang selalu membuat keputusan dengan cara sendirinya.
"Ai, kamu kenapa?" suara ibu dari ruang tamu membuatku menoleh seketika.
"Aku pulang ibu." Kataku lalu berjalan cepat dan menutup pintu kamarku dengan kerasnya.
Tubuhku merosot di depan pintu kamarku. Aku menangis tersedu sedu waktu itu. Aku hanya bingung dengan keputusanku saat ini. Kenapa tujuanku ke kota ini hanya untuk menambah ceritaku yang baru? Padahal tujuanku dari awal hanya ingin menyelesaikan masalahku dengan Bumi dan juga untuk mengantarkannya ke tempat bandara. Lalu, setelahnya aku pulang menemui Devan dan menetap selamanya di kota waktu itu.
Ternyata balik ke masalalu nggak semudah seperti makan nasi. Banyak sekali rintangannya, Bumi mengharapkanku kembali dan nggak aku sangka, ada pula seseorang yang selama ini menanti nantikanku agar pulang dan kembali mencari sebuah perjalanannya bersama sama.
Dev, maafin aku.
Aku menangis tersedu sedu. Bingung dengan perasaanku sekarang. Singgah atau menetap? Dunia seakan akan sedang mengujiku akan kesabarannya.
***
"Mba Aillen, bangun. Di luar ada tamu."
"Bilangin ke tamunya bi. Orang yang lagi dicari cari nggak ada, masih pergi keluar angkasa," kataku sedikit keras.
"Mba, tapi tamunya tukang paket."